Rabu, 07 Maret 2012

Dari Rezim Putin ke Rezim Putin


Belum puas menduduki jabatan presiden Rusia selama dua periode berturut-turut, membuat Vladimir Vladimirovich Putin kembali mengincar jabatan presiden Rusia, yang kini dipegang oleh Dmitry Medvedev melalui pemilihan presiden. Upaya Putin untuk kembali menduduki jabatan presiden Rusia yang ketiga kali, ditengah-tengah penentangan keras dari kalangan oposisi di Rusia benar-benar membuahkan hasil. Pasalnya dari pemilihan presiden Rusia, yang dilaksanakan pada senin (7/3)  lalu akhirnya sukses menghantarkan kembali Putin sebagai pemenang pemilihan presiden, untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu 13 tahun.  
Putin yang dicalonkan Partai United Russia sukses menggilas lawan-lawannya setelah meraih  64 persen suara, pada posisi kedua ditempati Gennady Zyuganov yang dicalonkan Partai Komunis dengan mengantongi 17 persen suara. Sementara kandidat presiden lainnya ; Vladimir Zhirinovsky yang dicalonkan Partai Demokrasi Liberal Rusia (LDPR),  Sergei Miranov yang dicalonkan Partai Keadilan (A Just Russia), dan miliarder asal Rusia Mikhail Prokhorov yang tampil sebagai calon independen masing-masing hanya memperoleh 8 persen suara.(Koran Tempo, 6/3).
Sejak awal perhelatan pemilihan presiden Rusia telah diprediksi Putin bakal memenangi pemilihan presiden Rusia. Namun ternyata kemenangan yang diraih Putin kali ini sangat berbeda dengan pemilihan presiden Rusia yang dihelat pada tahun 2000, dan pemilihan presiden Rusia yang dihelat pada tahun 2004, yang sukses dimenangi Putin. Pasalnya perolehan suara Putin tidak sebesar yang diraih dalam dua kali pemilihan presiden tersebut. Hal ini dikarenakan Putin ditinggalkan para pengikutnya dari kelas menengah (middle clas), yang selama ini mendukungya dalam pemilihan presiden. Penyebabnya yakni, kebijakan perpajakan dan masalah korupsi di era pemerintahannya.
Disamping itu, Putin turut mendapat protes keras dari kalangan oposisi, yang selama ini antipati dengan kepemimpinan Putin baik sebagai presiden, dan sebagai perdana menteri. Dimana kalangan oposisi  menentang pencalonan Putin sebagai presiden Rusia untuk ketiga kalinya. Bahkan Mikhail Gorbachev mantan Presiden Rusia di era komunis, yang pada suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa, Putin bukan ancaman bagi demokrasi Rusia turut serta menentang pencalonan kembali Putin sebagai presiden Rusia untuk ketiga kalinya.
Penentangan pencalonan Putin sebagai presiden Rusia yang ketiga kalinya oleh kalangan oposisi, sebenarnya dilatarbelakangi ketidak percayaan rakyat Rusia akan hasil pemilihan parlemen Rusia yang dilaksanakan pada Desember 2011 lalu. Kemenangan yang diraih Partai United Russia, yang merupakan partai pengusung Putin dalam pemilihan presiden Rusia, dinilai pihak oposisi dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair play yang penuh dengan kecurangan, rekayasa dan tekanan. Tekanan-tekanan itu, antara lain ; tekanan pada organisasi non pemerintah (LSM), pengusiran pemantau, pembatasan partai yang ikut pemilihan parlemen, penyensoran media, dan mobilisasi masa. Problem politik dari hasil pemilihan parlemen Rusia tersebut menandai stagnasi  transformasi kepemimpinan presiden Rusia dari rezim Putin ke rezim Putin.
Padahal jika saja pemilihan parlemen yang dilaksanakan pada Desember 2011 lalu dilakukan dalam suasana yang fair play, tanpa adanya kecurangan, rekayasa dan tekanan dari rezim Putin yang tengah memerintah, tentu akan membuka peluang yang sama bagi Partai Komunis, Partai Demokrasi Liberal Rusia, dan Partai Keadilan yang merupakan partai-partai politik besar di Rusia, untuk bisa menyaingi perolehan suara Partai United Russia secara ketat, disamping partai-partai kecil lainnya di Rusia seperti ;  Partai Yabloko, Partai Patriot of Russia dan Partai Right Cause, yang turut serta sebagai kontestan dalam pemilihan parlemen Rusia.
Penentangan kalangan oposisi tersebut, sebenarnya merupakan manifestasi dari kejenuhan sekaligus kerinduan rakyat Rusia, yang menginginkan transformasi pemerintahan di Rusia kepada figur diluar Putin, seperti kepada ;  Zhirinovsky,  Miranov, dan  Prokhorov. Hal ini dikarenakan Putin sudah 13 tahun memegang jabatan Presiden, dan 7 tahun memegang jabatan sebagai perdana menteri Rusia. Dimana pada tahun 1999 Putin menjabat presiden Rusia setelah Boris Yeltsin mengundurkan diri dari jabatannya selaku presiden Rusia, selanjutnya Putin menduduki jabatan presiden Rusia periode 2000-2004, dan periode 2004-2008 serta pada tahun 1999 Putin menduduki jabatan perdana menteri, dan kembali menduduki jabatan perdana menteri periode 2008-2011 setelah Medvedev menduduki jabatan presiden. 
Sebenarnya dalam konstitusi Rusia jabatan presiden hanya bisa dipegang selama dua periode. Untuk bisa memegang jabatan presiden ketiga kali, presiden yang pernah memegang jabatan selama dua periode, harus disela oleh presiden lain diantara dua kali masa jabatannya tersebut. Celah dalam konstitusi Rusia ini, yang kemudian digunakan Putin untuk maju sebagai calon presiden kembali, setelah jabatan presiden sebelumnya dijabat oleh Medvedev melalui pemilihan presiden. Model transisi kekuasaan seperti ini oleh Kusnanto Anggoro (2008) disebut dengan istilah russokrasi.
Sukses Putin yang membangkitkan Rusia dari keterpurukan ekonomi, memulihkan peran Rusia di level internasional  yang ditindaklanjuti dengan memperkuat peran negara dalam mengontrol kekayaan alam, serta menjadikan Rusia kaya dan makmur, ternyata tidak selamanya  menjadi daya tarik yang simultan bagi segenap rakyat Rusia, untuk tetap memberikan kepercayaan kepada Putin dalam memerintah Rusia baik sebagai presiden dan perdana menteri. Dari kondisi politik tersebut, menandai sudah saatnya proses transisi pemerintahan di Rusia diberikan kepada figur selain Putin, melalui mekanisme pemilu yang fair play.
Namun transisi kekuasaan di Rusia pasca kepemimpinan Putin enam tahun mendatang kepada figur lain, tentu bukan suatu hal yang muda. Diperkirakan Putin akan mempromosikan Medvedev presiden Rusia yang kini memasuki masa demesioner dari jabatannya, untuk dicalonkan kembali sebagai presiden Rusia. Apalagi baru satu kali Medvedev memegang jabatan presiden Rusia, maka tentu Medvedev adalah calon yang tepat. Upaya ini merupakan opsi yang pas, karena Medvedev merupakan figur yang bisa dikendalikan oleh Putin. Sehingga bisa mengamankan posisi Putin secara politik maupun hukum, dari serangan kaum opsisi tatkala Putin turun dari jabatannya selaku presiden. Ini berarti enam tahun mendatang Medvedev akan berkontestasi lagi dengan Zhirinovsky, Miranov, dan Prokhorov dalam pemilihan presiden.
Transisi kepemimpinan presiden Rusia enam tahun mendatang pasca berakhirnya masa jabatan Putin untuk ketiga kalinya sebagai presiden Rusia, tentu masih merupakan jalan panjang yang penuh teka-teki. Karena itu, prediksi-prediksi yang dilakukan saat ini dapat berubah suatu ketika. Bisa saja nasib Medvedev melejit bak karier politik Putin di era presiden Yeltsin, tapi bisa saja karier politik Medvedev meredup seperti Sergey Stepashin yang ditendang Presiden Yeltsin dari jabatannya selaku perdana menteri Rusia pada Agustus 1999 lalu.
Dinamika-dinamika politik domestik Rusia yang terjadi di era penghujung periodisasi kepemimpinan Putin selaku presiden Rusia yang berjalan baik, akan berdampak baik pula bagi karier politik Medvedev. Sebaliknya jika dinamika-dinamika politik domestik Rusia, yang terjadi di era penghujung periodisasi kepemimpinan Putin selaku presiden Rusia yang berjalan buruk, akan berimplikasi tidak baik kepada karier politik Medvedev. Sebab mulusnya Medvedev untuk meraih jabatan presiden Rusia, sangat tergantung kepada kepiawaian Medvedev untuk mensinergikan kepentingan politiknya, dengan kepentingan politik Putin.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar