Jumat, 30 Maret 2012

Pemilu Timor Leste


Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), merupakan suatu negara yang terbilang masih mudah dikawasan Asia-Pasifik. Pasalnya baru pada 20 Mei tahun 2002 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menyerahkan kedaulatan Timor Leste, sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat, setelah sebelumnya sejak tahun 1975 Timor Leste menjadi provinsi ke-27 di Indonesia. Di tengah usia Timor Leste yang terbilang masih belia, proses demokrasi di negara yang berada di belahan timur Pulau Timor ini melalui pemilu presiden tetap bergeliat. Hal ini bisa dilihat dari pemilu presiden, yang dilaksanakan pada tahun 2002, tahun 2007, dan pemilu presiden yang dilaksanakan pada tahun 2012.
Menarik untuk menyimak proses demokrasi di Timor Leste, yang dilakukan melalui pemilu presiden. Pasalnya proses demokrasi yang dilakukan melalui pemilu presiden selalu dilakukan dalam suasana yang kondusif, namun masa pemerintahan elite-elite politik, yang duduk sebagai perdana menteri seringkali terganggu di tengah jalan. Hal ini dikarenakan politik domestik yang dilakukan elite-elite politiknya tidak mengakomodasi kepentingan politik luar negerinya, maupun konflik antara elite-elite politik di level pemerintahan, yang duduk sebagai perdana menteri dengan faksi-faksi yang terdapat didalam tubuh militer Timur Leste.
Fenomena ini bisa disaksikan tatkala masa pemerintahan Perdana Menteri Marie bin Amude Alkatiri. Dimana pada Maret 2006, Marie bin Amude Alkatiri memecat sekitar 691 anggota Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor Leste (Falintil), yang dianggap tidak disiplin dan melakukan desersi. Tindakan keras ini kemudian menimbulkan kerusuhan di kalangan militer negara itu. Kelompok-kelompok bersenjata saling menyerang, dan melakukan pembakaran rumah-rumah penduduk. Pada 25 Mei 2006 Menteri Luar Negeri José Ramos Horta meminta bantuan dari sejumlah negara asing untuk mengatasinya.
Pada akhir Mei Presiden Xanana Gusmao mengumumkan keadaan darurat, dan mengambil alih kekuasaan sehingga menimbulkan perselisihan dengan Marie bin Amude Alkatiri. Namun Marie bin Amude Alkatiri bertekad untuk mempertahankan kedudukannya, sambil mengatakan bahwa hanya pemilu sajalah, yang baru akan diadakan pada 2007, yang dapat menyingkirkannya. Pada 21 Juni 2006 Presiden Xanana Gusmao memberikan dua pilihan kepada Marie bin Amude Alkatiri mengundurkan diri atau dipecat. Pada 26 Juni 2006, ia mengumumkan pengunduran dirinya, setelah sehari sebelumnya José Ramos Horta menyatakan mundur dari jabatannya sebagai menteri luar negeri dan menteri pertahanan, dan tujuh anggota kabinet lainnya di bawah Marie bin Amude Alkatiri  menyatakan siap mundur.(Wikipedia, 2006).
Terlepas dari prahara politik tersebut, pada pemilu presiden Timor Leste yang dilaksanakan pada tahun 2002, Xanana Gusmao yang diusung oleh Partai Conselho Nacional de Resistencia Timorense (CNRT) terpilih sebagai Presiden Timor Leste, dan Perdana Menteri Marie bin Amude Alkatiri, yang berasal dari Partai Frente Revolucionario de Timor Leste Independente (Fretilin). Pada pemilu presiden Timor Leste yang dilaksanakan pada tahun 2007 José Ramos Horta, yang usung Partai CNRT terpilih sebagai Presiden, dan Perdana Menteri Xanana Gusmao yang berasal dari Partai CNRT.
Pada tahun 2012 ini dilaksanakan pemilu presiden Timor Leste yang ketiga. Sebelumnya terdapat 13 calon presiden yang bersaing dalam pemilu presiden Timor Leste kali ini, namun dalam proses pemilu presiden tersebut, salah satu calon presiden yakni  Francisco Xavier do Amaral, yang dicalonkan Partai  Timorense Social Democratic Association (TSDA) meninggal dunia,  sehingga menyisahkan 12 kandidat presiden. Meninggalnya Francisco Xavier do Amaral membuat pemilu presiden Timor Leste, yang dijadwalkan oleh Commisaun Nacional de Eleiçoens (CNE) akan dilaksanakan pada 17 Maret 2012 nyaris gagal.
Hal ini dikarenakan pada pasal 26 udang-undang pemilu Timor Leste menyebutkan, jika seorang calon presiden meninggal atau tidak dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik, proses pemilu harus dibatalkan dan mulai dari awal. Akan tetapi guna merespons kebuntuan regulasi sebagai akibat berlakunya pasal 26 itu, maka parlemen Timor Leste pun secara maraton melakukan amandemen terhadap pasal dimaksud, sehingga bisa memecahkan kebuntuan regulasi demi jalannya pemilu presiden Timor Leste, sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh CNE.
Dari 12 kandidat presiden Timor Leste, yang meramaikan  bursa pencalonan presiden pada pemilu presiden Timur Leste di tahun 2012 ini, terdapat sejumlah calon presiden yang sejak awal pelaksanaan pemilu presiden Timur Leste diunggulkan bersaing ketat, untuk merebut jabatan presiden Timor Leste periode 2012-2017. Para calon presiden unggulan tersebut adalah ; José Ramos Horta Presiden Timor Leste, Taur Matan Ruak mantan Panglima Falintil, dan Francisco Guterres Lu-Olo pimpinan Partai Fretilin.
Di tengah kontestasi ketiga calon presiden unggulan tersebut, sebenarnya konfigurasi politik dalam pemilu presiden Timor Leste di tahun 2012 ini, mengalami dinamika yang signifikan jika dibandingkan dengan pemilu presiden Timor Leste tahun 2007 lalu. Hal ini dikarenakan, José Ramos Horta pada pemilu lima tahun lalu didukung oleh Partai CNRT pimpinan Xanana Gusmao, namun kali ini José Ramos Horta tidak mendapat dukungan dari Partai CNRT. Dukungan itu dialihkan kepada Taur Matan Ruak mantan panglima Falintil, sementara Francisco Guterres Lu-Olo yang didukung oleh Partai Fretilin, tetap confidence  sejak awal akan memenangkan pemilu presiden Timor Leste putaran pertama, karena lima tahun lalu dalam pemilu presiden putaran kedua dia terhempas oleh keunggulan José Ramos Horta.
Ketiga calon presiden itu akhirnya benar-benar membuktikan diri unggul dari sembilan calon presiden lainnya, yang turut tampil meramaikan kontestasi pemilu presiden Timor Leste kali ini. Pasalnya pada pemilu presiden Timor Leste putaran pertama, yang dilaksakan pada 17 Maret 2012 lalu,  menempatkan Francisco Guterres Lu-Olo pada posisi pertama perolehan suara, dengan meraih 27,625 persen suara, disusul Taur Matan Ruak menempati tangga kedua perolehan suara, dengan memperoleh 24,23 persen suara, dan pada posisi ketiga perolehan suara ditempati José Ramos Horta, dengan hanya meraih 19,13 persen suara.(Koran Tempo, 19/3/2012).
Dari hasil pemilu presiden Timor Leste putaran pertama tersebut, akhirnya mengkandaskan keinginan José Ramos Horta untuk berlaga pada pemilu presiden Timor Leste putaran kedua, sekaligus menguburkan impiannya untuk kembali bertahtah sebagai presiden Timor Leste periode 2012-2017. Sebab suara yang diraih mantan menteri luar negeri Timor Leste ini, tidak mencukupi syarat untuk melaju ke ronde kedua pemilu presiden Timor Leste. Sehingga Francisco Guterres Lu-Olo, dan Taur Matan Ruak akan maju pada ronde kedua pemilu presiden Timor Leste. Hal ini dikarenakan, dalam undang-undang yang mengatur pemilu presiden Timor Leste menyebutkan, pemilu presiden putaran kedua dilakukan jika ada dua kandidat presiden, yang memiliki suara terbanyak dari hasil pemilu presiden putaran pertama.
Baik Francisco Guterres Lu-Olo, yang dicalonkan Partai Fretilin ,dan Taur Matan Ruak yang dicalonkan Partai CNRT, sama-sama memiliki peluang untuk memenangkan pemilu presiden Timor Leste putaran kedua pada April 2012 nanti. Namun siapa yang lebih layak, dan pantas memimpin negara eks jajahan Portugal tersebut sebagai presiden Timor Leste periode 2012-2017, tentu semuanya terpulang kepada kemampuan mereka masing-masing, untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik melalui koalisi dengan partai-partai politik, sekaligus mampu memberikan kepercayaan kepada rakyat, melalui kampanye pada pemilu presiden Timor Leste ronde kedua bahwa, mereka lebih layak dan pantas untuk memimpin Timor Leste lima tahun mendatang.(M.J.Latuconsina).



Rabu, 07 Maret 2012

Dari Rezim Putin ke Rezim Putin


Belum puas menduduki jabatan presiden Rusia selama dua periode berturut-turut, membuat Vladimir Vladimirovich Putin kembali mengincar jabatan presiden Rusia, yang kini dipegang oleh Dmitry Medvedev melalui pemilihan presiden. Upaya Putin untuk kembali menduduki jabatan presiden Rusia yang ketiga kali, ditengah-tengah penentangan keras dari kalangan oposisi di Rusia benar-benar membuahkan hasil. Pasalnya dari pemilihan presiden Rusia, yang dilaksanakan pada senin (7/3)  lalu akhirnya sukses menghantarkan kembali Putin sebagai pemenang pemilihan presiden, untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu 13 tahun.  
Putin yang dicalonkan Partai United Russia sukses menggilas lawan-lawannya setelah meraih  64 persen suara, pada posisi kedua ditempati Gennady Zyuganov yang dicalonkan Partai Komunis dengan mengantongi 17 persen suara. Sementara kandidat presiden lainnya ; Vladimir Zhirinovsky yang dicalonkan Partai Demokrasi Liberal Rusia (LDPR),  Sergei Miranov yang dicalonkan Partai Keadilan (A Just Russia), dan miliarder asal Rusia Mikhail Prokhorov yang tampil sebagai calon independen masing-masing hanya memperoleh 8 persen suara.(Koran Tempo, 6/3).
Sejak awal perhelatan pemilihan presiden Rusia telah diprediksi Putin bakal memenangi pemilihan presiden Rusia. Namun ternyata kemenangan yang diraih Putin kali ini sangat berbeda dengan pemilihan presiden Rusia yang dihelat pada tahun 2000, dan pemilihan presiden Rusia yang dihelat pada tahun 2004, yang sukses dimenangi Putin. Pasalnya perolehan suara Putin tidak sebesar yang diraih dalam dua kali pemilihan presiden tersebut. Hal ini dikarenakan Putin ditinggalkan para pengikutnya dari kelas menengah (middle clas), yang selama ini mendukungya dalam pemilihan presiden. Penyebabnya yakni, kebijakan perpajakan dan masalah korupsi di era pemerintahannya.
Disamping itu, Putin turut mendapat protes keras dari kalangan oposisi, yang selama ini antipati dengan kepemimpinan Putin baik sebagai presiden, dan sebagai perdana menteri. Dimana kalangan oposisi  menentang pencalonan Putin sebagai presiden Rusia untuk ketiga kalinya. Bahkan Mikhail Gorbachev mantan Presiden Rusia di era komunis, yang pada suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa, Putin bukan ancaman bagi demokrasi Rusia turut serta menentang pencalonan kembali Putin sebagai presiden Rusia untuk ketiga kalinya.
Penentangan pencalonan Putin sebagai presiden Rusia yang ketiga kalinya oleh kalangan oposisi, sebenarnya dilatarbelakangi ketidak percayaan rakyat Rusia akan hasil pemilihan parlemen Rusia yang dilaksanakan pada Desember 2011 lalu. Kemenangan yang diraih Partai United Russia, yang merupakan partai pengusung Putin dalam pemilihan presiden Rusia, dinilai pihak oposisi dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair play yang penuh dengan kecurangan, rekayasa dan tekanan. Tekanan-tekanan itu, antara lain ; tekanan pada organisasi non pemerintah (LSM), pengusiran pemantau, pembatasan partai yang ikut pemilihan parlemen, penyensoran media, dan mobilisasi masa. Problem politik dari hasil pemilihan parlemen Rusia tersebut menandai stagnasi  transformasi kepemimpinan presiden Rusia dari rezim Putin ke rezim Putin.
Padahal jika saja pemilihan parlemen yang dilaksanakan pada Desember 2011 lalu dilakukan dalam suasana yang fair play, tanpa adanya kecurangan, rekayasa dan tekanan dari rezim Putin yang tengah memerintah, tentu akan membuka peluang yang sama bagi Partai Komunis, Partai Demokrasi Liberal Rusia, dan Partai Keadilan yang merupakan partai-partai politik besar di Rusia, untuk bisa menyaingi perolehan suara Partai United Russia secara ketat, disamping partai-partai kecil lainnya di Rusia seperti ;  Partai Yabloko, Partai Patriot of Russia dan Partai Right Cause, yang turut serta sebagai kontestan dalam pemilihan parlemen Rusia.
Penentangan kalangan oposisi tersebut, sebenarnya merupakan manifestasi dari kejenuhan sekaligus kerinduan rakyat Rusia, yang menginginkan transformasi pemerintahan di Rusia kepada figur diluar Putin, seperti kepada ;  Zhirinovsky,  Miranov, dan  Prokhorov. Hal ini dikarenakan Putin sudah 13 tahun memegang jabatan Presiden, dan 7 tahun memegang jabatan sebagai perdana menteri Rusia. Dimana pada tahun 1999 Putin menjabat presiden Rusia setelah Boris Yeltsin mengundurkan diri dari jabatannya selaku presiden Rusia, selanjutnya Putin menduduki jabatan presiden Rusia periode 2000-2004, dan periode 2004-2008 serta pada tahun 1999 Putin menduduki jabatan perdana menteri, dan kembali menduduki jabatan perdana menteri periode 2008-2011 setelah Medvedev menduduki jabatan presiden. 
Sebenarnya dalam konstitusi Rusia jabatan presiden hanya bisa dipegang selama dua periode. Untuk bisa memegang jabatan presiden ketiga kali, presiden yang pernah memegang jabatan selama dua periode, harus disela oleh presiden lain diantara dua kali masa jabatannya tersebut. Celah dalam konstitusi Rusia ini, yang kemudian digunakan Putin untuk maju sebagai calon presiden kembali, setelah jabatan presiden sebelumnya dijabat oleh Medvedev melalui pemilihan presiden. Model transisi kekuasaan seperti ini oleh Kusnanto Anggoro (2008) disebut dengan istilah russokrasi.
Sukses Putin yang membangkitkan Rusia dari keterpurukan ekonomi, memulihkan peran Rusia di level internasional  yang ditindaklanjuti dengan memperkuat peran negara dalam mengontrol kekayaan alam, serta menjadikan Rusia kaya dan makmur, ternyata tidak selamanya  menjadi daya tarik yang simultan bagi segenap rakyat Rusia, untuk tetap memberikan kepercayaan kepada Putin dalam memerintah Rusia baik sebagai presiden dan perdana menteri. Dari kondisi politik tersebut, menandai sudah saatnya proses transisi pemerintahan di Rusia diberikan kepada figur selain Putin, melalui mekanisme pemilu yang fair play.
Namun transisi kekuasaan di Rusia pasca kepemimpinan Putin enam tahun mendatang kepada figur lain, tentu bukan suatu hal yang muda. Diperkirakan Putin akan mempromosikan Medvedev presiden Rusia yang kini memasuki masa demesioner dari jabatannya, untuk dicalonkan kembali sebagai presiden Rusia. Apalagi baru satu kali Medvedev memegang jabatan presiden Rusia, maka tentu Medvedev adalah calon yang tepat. Upaya ini merupakan opsi yang pas, karena Medvedev merupakan figur yang bisa dikendalikan oleh Putin. Sehingga bisa mengamankan posisi Putin secara politik maupun hukum, dari serangan kaum opsisi tatkala Putin turun dari jabatannya selaku presiden. Ini berarti enam tahun mendatang Medvedev akan berkontestasi lagi dengan Zhirinovsky, Miranov, dan Prokhorov dalam pemilihan presiden.
Transisi kepemimpinan presiden Rusia enam tahun mendatang pasca berakhirnya masa jabatan Putin untuk ketiga kalinya sebagai presiden Rusia, tentu masih merupakan jalan panjang yang penuh teka-teki. Karena itu, prediksi-prediksi yang dilakukan saat ini dapat berubah suatu ketika. Bisa saja nasib Medvedev melejit bak karier politik Putin di era presiden Yeltsin, tapi bisa saja karier politik Medvedev meredup seperti Sergey Stepashin yang ditendang Presiden Yeltsin dari jabatannya selaku perdana menteri Rusia pada Agustus 1999 lalu.
Dinamika-dinamika politik domestik Rusia yang terjadi di era penghujung periodisasi kepemimpinan Putin selaku presiden Rusia yang berjalan baik, akan berdampak baik pula bagi karier politik Medvedev. Sebaliknya jika dinamika-dinamika politik domestik Rusia, yang terjadi di era penghujung periodisasi kepemimpinan Putin selaku presiden Rusia yang berjalan buruk, akan berimplikasi tidak baik kepada karier politik Medvedev. Sebab mulusnya Medvedev untuk meraih jabatan presiden Rusia, sangat tergantung kepada kepiawaian Medvedev untuk mensinergikan kepentingan politiknya, dengan kepentingan politik Putin.(M.J.Latuconsina).

Senin, 26 Juli 2010

Bola Liar Interpelasi

Oleh ; M.J Latuconsina


Pekan lalu perhatian rakyat tertuju di Balai Rakyat Kota Ambon, guna mengikuti perkembangan polemik dari pengajuan hak interpelasi. Dimana terdapat sebanyak 14 anggota DPRD Kota Ambon dari 5 fraksi yang mengajukan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon. Pengajuan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon tersebut, lebih dilatabelakangi oleh berbagai kebijakan yang dilakukan Walikota Ambon, yang diduga menyalahi prosedur menyangkut pinjaman daerah, maupun pengelolaan keuangan daerah tahun anggaran 2009, dan 2010
Dimana pinjaman daerah yang dilakukan pada tahun anggaran 2009 oleh pemerintah Kota Ambon, ternyata melebihi dari apa yang telah disetujui sejak awal oleh DPRD Kota Ambon. Pasalnya pinjaman itu disetujui hanya Rp 30 miliar namun kemudian membengkak menjadi Rp 35 miliar, sehingga terjadi kelebihan Rp 5 miliar. Disamping itu dalam pengelolaan keuangan daerah di tahun 2009 mengalami defisit. Akibat defisit dari anggaran tersebut, menjadi beban bagi APBD Kota Ambon di tahun 2010.
Proses pengajuan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon itu berjalan cukup alot. Sebab Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Kota Ambon yang dikuasai oleh fraksi yang menolak pengajuan hak interpelasi, ternyata ikut pula menolak pembentukan panitia khusus (Pansus), untuk membahas pinjaman maupun defisit keuangan dari pemerintah Kota Ambon. Penolakan oleh Bamus itu tanpa alasan yang jelas. Tentu sikap Bamus DPRD Kota Ambon itu, membuat rakyat yang selama sepekan mengikuti perkembangan polemik pengajuan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon di DPRD Kota Ambon itu kecewa.
Tak pelak rakyat-pun menilai bahwa, Bamus DPRD Kota Ambon yang menolak pembentukan Pansus sebagai kelanjutan dari pengajuan hak interpelasi oleh 14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi itu justru lebih berpihak kepada kebijakan-kebijakan Walikota Ambon, yang diduga menyalahi prosedur tersebut. Kasus penolakan ini, tentu merupakan cermin “retak” dari pembelaan berlebihan anggota se partai dengan Walikota Ambon di DPRD Kota Ambon, yang tidak lagi mendengar keluh kesah rakyat atas kebijakan Walikota Ambon yang tidak populer tersebut.
Karena itu, mestinya performance hakiki selaku wakil rakyat yang lebih dikedepankan dalam membela kepentingan rakyat, dan bukan sebaliknya “membela orang partai demi partai” dengan menolak pembentukan Pansus. Jika sikap semacam ini terus dipertahankan, tentu akan menyulitkan transparansi dari akuntabilitas kinerja Walikota Ambon terhadap berbagai kebijakan yang dinilai oleh rakyat menyalahi prosedur. Dampak negatifnya, hanya akan menciptakan pemerintahan yang penuh dengan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Dalam posisi seperti ini, Bamus DPRD Kota Ambon jangan menjadikan interpelasi sebagai momok yang menakutkan bagi mereka dan kepentingan mereka sendiri. Untuk itu, pengajuan hak interpelasi oleh ke-14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi terhadap Walikota Ambon tersebut, perlu lebih dimaknai sebagai bagian strategis, yang tidak bisa dilepas pisakan dari fungsi DPRD sebagai lembaga, yang melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kota Ambon selaku pihak eksekutif.
Karena itu, sejak awal Bamus DPRD Kota Ambon perlu memandang pengajuan hak interpelasi oleh ke-14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi terhadap Walikota Ambon, sebagai sesuatu yang realistis dalam kaitannya dengan implementasi fungsi DPRD sebagai lembaga, yang melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang diambil pihak eksekutif. Sehingga sejak awal Bamus DPRD Kota Ambon perlu menyetujui pembentukan pansus, sebagai kelanjutan dari pengajuan hak interpelasi tersebut. Pasalnya melalui pengajuan hak interpelasi, DPRD Kota Ambon akan meminta keterangan Walikota Ambon mengenai kebijakannya yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat serta daerah.
Sehingga rakyat-pun bisa mengetahui dengan jelas apakah kebijakan yang dilakukan Walikota Ambon tersebut benar atau salah. Tapi jika berbagai kebijakan yang dilakukan Walikota Ambon, yang diduga menyalahi prosedur dalam pinjaman daerah tahun anggaran 2009,  maupun pengelolaan keuangan daerah tahun anggaran 2009, dan 2010 tersebut, tetap dibiarkan tanpa adanya interpelasi. Tentu sikap Bamus DPRD Kota Ambon yang menolak pembentukan pansus tersebut, akan berimplikasi negatif terhadap citra DPRD Kota Ambon di mata rakyat, dimana mereka akan menilai DPRD Kota Ambon secara kolektif membiarkan praktek KKN.
Bahkan rakyat juga akan mencap DPRD Kota Ambon bak “macan ompong”, yang tidak bisa berbuat apa-apa demi menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Terlepas dari itu, Bamus DPRD Kota Ambon tidak perlu khawatir dengan pengajuan interpelasi ke-14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi. Pasalnya interpelasi tidak lain dilakukan dalam rangka mewujudkan prinsip cheks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dimana kalau prinsip dari cheks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kota Ambon terlaksana dengan baik, tentu akan mendorong upaya pencapaian good government, dan clean government dilevel pemerintahan Kota Ambon.
Diluar itu, jika kita menyimak regulasi yang berlaku, interpelasi merupakan hak yang built in dengan fungsi dan kewenangan DPRD, sehingga tidak ada yang luar biasa dan dikhawatirkan. Dalam Pasal 79 Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD maupun dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan hak interpelasi adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas kepada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara.
Memaknai arti substantif dari interpelasi tersebut, tentu tujuan interpelasi dalam rangka untuk mendapat keterangan atau penjelasan tentang kebijakan daerah yang diambil pemerintah kota (Walikota). Sebagai tindak lanjut dari hasil keterangan dan penjelasan tersebut, DPRD dapat menggunakan hak menyatakan pendapat disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya. Tapi harus diakui, pada titik ini selalu saja terdapat kekhawatiran yang berlebihan dari pihak eksekutif bersama partai pendukungnya di legislatif, dimana mereka menganggap interpelasi akan menjadi “bola liar”, yang dapat berujung pada pemakzulan (impeachment) terhadap Walikota Ambon.
Terkait dengan itu, Muhammad Jamin (2005) dalam artikelnya yang berjudul ; “Mencari Makna Interpelasi” menyebutkan bahwa, sesungguhnya, tidak ada yang istimewa pada proses interpelasi. Namun demikian, tak urung banyak pertanyaan muncul berkait dengan hal tersebut. Interpelasi sebagai hak hukum sekaligus hak politik yang dimiliki legislatif, bukan mustahil akan menimbulkan implikasi (politik) yang tidak diduga. Apalagi, realitasnya DPRD merupakan lembaga politik, sehingga ada kekhawatiran bahwa interpelasi akan menjadi entry point untuk proses politik lanjutan yang bisa menjadi “bola liar yang sulit diprediksi arahnya.
Namun kalau kekhawatiran dari pihak eksekutif bahwa, interpelasi itu akan menjadi “bola liar”, yang bermuara pada upaya pemakzulan terhadap Walikota Ambon, tentu hal itu merupakan sesuatu yang terlampau jauh. Pengalaman membuktikan kasus pemakzulan terhadap Walikota Surabaya Sunarto Sumoprawiro, dan Bupati Kampar Jefri Noer, itu terjadi tatkala DPRD masih menjadi lembaga “super bodi” yang bisa memakzulan kepala daerah, yang belandasakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Sebab dalam undang-undang ini, menempatkan posisi DPRD yang sangat kuat, dan setara dengan kekuasaan eksekutif sebagaimana Pasal 16 ayat (2).

Minggu, 25 Juli 2010

Terjebak Konsolidasi Anarki

Oleh; M.J Latuconsina


Politik bertujuan untuk menghapuskan
kekerasan. -Maurice Duverger-

Pada 8 Juli 2010 lalu terjadi bentrokan antara massa pendukung pasangan Teddy Tengko-Umar Djabamona, dan pasangan Roy Patiasina-Abdul Rahman Jabamona di Kota Dobo. Bentrokan ini dipicu oleh pawai arak-arakan kemenangan dari massa pendukung pasangan Teddy Tengko-Umar Djabamona yang unggul dalam perhitungan sementara di Sekretariat KPUD Kabupaten Aru. Pawai arak-arakan massa pendukung pasangan Teddy Tengko-Umar Djabamona di Kota Dobo itu berpapasan dengan kumpulan massa pendukung pasangan Elwen Roy Patiasina-Abdul Rahman Djabamona. Adu mulut-pun terjadi dan berujung pada aksi saling duel antara kedua massa pendukung pasangan calkada dan cawalkada Aru itu.
Hal serupa terjadi di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), dimana pada 21 Juli 2010 lalu terjadi bentrokan antara masa pendukung pasangan Mukti Keliobas-Jusuf Romatoras, dan massa pendukung pasangan Abdullah Vanath-Siti Umariah Suruwaky di Kota Bula. Bentrokan itu bermula ketika KPUD Kabupaten SBT membuka kotak surat suara untuk melakukan rekapitulasi ulang dari wilayah Kecamatan Gorom. Tak pelak ketidakpuasan-pun muncul dari pendukung pasangan Mukti keliobas-Jusuf Romatoras, yang berujung dengan pembakaran rumah Ketua PKPI SBT, Kabag Umum Pemkab SBT, Gedung DPRD SBT, Kantor Camat Bula, serta pembakaran rumah beberapa warga masyarakat di Kota Bula.(Ameks, 11-21/07/2010).
Diskripsi ini merupakan potret kelam dari pelaksanaan Pemilukada dikedua daerah ini, yang dipenuhi dengan pertentangan dimana menjurus kepada tindakan anarki, sekaligus menambah jumlah kasus pelaksanaan Pemilukada di tanah air yang diwarnai dengan tindakan kekerasaan. Akibat dari penggunaan tindakan anarki pada Pemilukada dikedua daerah itu, membuat mereka terjebak dalam “consolidated anarcy”. Hal ini sebagaimana dikemukakan Cornelis Lay (2004), dalam bukunya yang berjudul, “Antara Anarki dan Demokrasi” bahwa, merebaknya anarki bisa dipastikan bukan merupakan jalur yang kondusif bagi terciptanya demokrasi.
Terlepas dari itu, perhelatan Pemilukada di Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kabupaten SBT telah usai. Usainya pelaksanaan Pemilukada dikedua daerah itu, harus dibayar mahal dengan adanya huru-hara politik, yang menganggu stabilitas keamanan serta ketentraman di Kota Bula, dan Kota Dobo. Pelaksanaan Pemilukada tersebut, berbeda dengan Pemilukada lima tahun lalu di kedua kabupaten ini, dimana relatif kondusif dan tidak menimbulkan huru-hara politik, yang menganggu stabilitas keamanan dan ketantraman.
Terjadinya huru-hara politik dalam Pemilukada di dua daerah baru itu, dikarenakan para elite politik yang tampil sebagai pasangan calkada dan cawalkada, yang kalah dalam Pemilukada dikedua kabupaten ini, tidak puas dengan hasil Pemilukada. Dimana mereka menilai pasangan calkada, dan cawalkada yang memenangi Pemilukada di kedua kabupaten itu melakukan kecurangan. Bentuk ketidak-puasan itu-pun, ditunjukan mereka dengan memobilisasi massa pendukung mereka untuk melakukan tindakan anarki.
Tindakan anarki massa pendukung para pasangan calkada, dan cawalkada yang kalah dalam Pemilukada itu dilakukan melalui pengrusakan terhadap fasilitas publik milik pemerintah daerah, sekretariat partai, maupun rumah-rumah penduduk yang merupakan pendukung pasangan calkada, dan cawalkada yang memenangi Pemilukada. Tentu ini sebuah ironi dalam proses berdemokrasi dilevel lokal di Maluku, dimana harus dibayar mahal dengan tindakan huru-hara politik tersebut.
Fenomena Pemilukada Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kabupaten SBT yang dipenuhi dengan konflik politik tersebut, merupakan potret anomali dari politik. Hal ini sebagaimana dikatakan Maurice Duverger, yang dikutip Sahidin (2004) dalam bukunya yang berjudul ; “Kala Demokrasi Melahirkan Anarki, Potret Tragedi Politik Dongos” bahwa,  politik cenderung mengapuskan kekerasan, akan tetapi dalam realitas praktik politik tidak pernah terlepas dari kekerasan. Padahal secara normatif, politik bertujuan untuk menghapuskan kekerasan, untuk menggantikan  konflik berdarah, dengan bentuk perjuangan sipil yang damai.
Dari sketsa kericuhan dalam Pemilukada dikedua kabupaten baru itu, sulit diduga massa pendukung para elite yang kalah dalam Pemilukada itu bergerak secara spontan atas kehendak mereka sendiri. Sehingga dengan mudah kita menilai bahwa rakyat dikedua daerah itu tidak siap dalam berdemokrasi. Penilaian seperti ini, seakan menihilkan peran para elite, yang kalah dalam Pemilukada dikedua daerah itu. Padahal secara rill menunjukan  bahwa, dimana ada elite maka disitu ada massa yang menjadi pendukung mereka.
Secara teoritik Haryanto (2005) dalam bukunya yang berjudul ;  ”Kekuasaan Elite Suatu Bahasan Pengantar” mengatakan bahwa, eksistensi elite akan ada apabila ada massa yang berperan sebagai pendukungnya. Sebagai pihak yang mendominasi, elite memiliki kewenangan untuk memerintah massa yang didominasinya. Demikian halnya dengan eksistensi elite yang tampil dalam Pemilukada dikedua daerah itu, dimana ada massa yang berperan sebagai pendukung mereka. Sehingga pergerakan massa pendukung para elite yang kalah dalam Pemilukada dikedua daerah itu, tentu atas dasar mobilisasi yang dilakukan para elite mereka.
Karena itu, rakyat dikedua daerah ini memiliki kesiapan dalam proses berdemokrasi. Hanya saja terdapat ketidaksiapan dari para elite yang tampil sebagai kontestan dalam Pemilukada dikedua daerah itu. Hal ini ditunjukan dengan ketidak-relaan para elite dikedua daerah itu untuk kalah dalam perhelatan Pemilukada. Buruknya lagi para elite justru menjadikan massa pendukung mereka sebagai bagian dari “tumbal demokrasi”. Dimana massa pendukung mereka dimobilisasi untuk melakukan tindakan brutal, atas kekalahan yang dialami mereka.
Tindakan-tindakan seperti ini, tentu bukan merupakan wujud pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Mestinya ketidakpuasan itu, dilakukan para elite yang kalah dalam Pemilukada tersebut melalui mekanisme politik, dan mekanisme hukum yang lebih moderat, dengan senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi. Kalau kedua mekanisme itu lebih dikedepankan, maka perilaku-perilaku politik semacam ini, akan memiliki bias yang positif terhadap massa pendukung mereka, untuk melakukan imitasi karakter yang baik seperti apa yang dilakukan oleh para elite mereka.
Jika sejak awal para elite memiliki kesiapan menghadapi proses berdemokrasi dikedua daerah itu, tentu tidak dengan mudahnya memobilisasi rakyat selaku massa pendukung mereka, untuk berbuat tindakan brutal, yang hanya menganggu stabilitas keamanan dan ketentraman. Untuk itu sprit pelaksanaan Pemilukada perlu diletakan pada sendi-sendi demokrasi yang fair play, dimana dilaksanakan dalam suasana yang jujur, adil (jurdil) dan langsung, umum, bebas, serta rahasia (luber). Sehingga bisa meminimalir terjadinya huru-hara politik, yang sering berdampak terhadap terganggunya stabilitas keamanan dan ketentraman.

Rabu, 07 April 2010

Partai Wong Cilik di Pentas Lokal (di PDIP-Gerindra Nasib PKL Mesti Diperjuangkan)

Oleh; M.J Latuconsina




 Partai-partai seharusnya mewakili sesuatu. -Klinggeman, Hofferbert, Budge-

Pada 3 Februari 2010 lalu terjadi peristiwa dramatis, yang menarik perhatian rakyat di Kota Ambon. Peristiwa itu menyangkut penggusuran lapak para pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang area Terminal Mardika Ambon oleh Polisi Pamong Praja. Tak pelak lapak para PKL yang berjejeran disepanjang area Terminal Mardika Ambon tersebut disapu bersih, yang terlihat tatkala pagi hari adalah kepulan asap sisa-sisa dari lapak para PKL yang telah dibakar. Kejadian dramatis itu menandai pasang-surut hubungan PKL dengan state di ranah lokal, yang sering terjadi dari waktu ke waktu.
Disatu sisi state memerlukan output finansial dari para PKL dalam bentuk retribusi yang diberikan para PKL perharinya kepada state. Hal ini perlu dilakukan, karena retribusi dari para PKL itu diperuntukan bagi budget state, yang bisa digunakan sebagai support suporting bagi kepentingan pembangunan state di aras lokal. Sayangnya retribusi dari para PKL itu diduga masuk ke kantong para ”kapitalis birokrat” (”kabir”). Sehingga yang terjadi adalah para ”kabir” pemburu rente dari para PKL.   
Disisi lain state melalui regulasi perdanya mengatur para PKL, dimana perda itu tidak berpihak kepada kepentingan para PKL. Tentu perda itu dibuat atas dasar kenyamanan, keindahan, kebersihan dan ketertiban Kota Ambon. Disini nampak hegemoni state di ranah lokal terhadap para PKL. Ini artinya, state di level lokal sendiri tidak memiliki kapasitas dalam memanjamen para PKL. Dimana terkesan oportunity dan melalaikan hak-hak para PKL untuk menjajakan dagangannya kepada rakyat.
Padahal para PKL merupakan para pekerja di sektor informal, yang memiliki kontribusi signifikan dalam menggerakan roda perekonomian bagi rakyat kecil di Kota Ambon. Bahkan rakyat kecil di Kota Ambon kebanyakan lebih memilih untuk melakukan transaksi pembelian produk barang dengan para PKL, ketimbang melakukan transaksi pembelian produk barang di supermarket, dengan produk barang yang sama, tapi harga dari produk barang yang dijual di supermarket tersebut lebih tinggi daripada yang di jajakan para PKL.  
Ketidakmampuan state di level lokal diperburuk dengan sikap partai politik, yang sering menjadikan para PKL sebagai basis pemilih dalam pemilu, tapi tidak bisa membela kepentingan para PKL. Sikap itu anomali dengan esensi vital kehadiran partai politik untuk menjebatani kepentingan rakyat dan negara. Bahkan partai politik yang fokus memperjuangkan kesejahteraan rakyat termarginalkan seperti ; PDIP dan Partai Gerindra, tidak maksimal membela kepentingan para PKL di arena legislatif. Hal ini menunjukan dalam fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, kedua partai politik ini gagal merealisasikannya di tingkat legislatif.
Padahal PDIP dikenal sebagai partai wong cilik, dimana basis garapan pemilihnya mencakup ; penduduk kota terpinggirkan, kaum buruh, petani, dan para pelaku ekonomi di sektor informal. Sehingga jargon wong cilik menjadi identik dengan partai politik ini. Begitu pula Partai Gerindra dikenal sebagai partai politik, yang fokus dalam memperjuangkan kelompok masyarakat yang terpinggirkan, sebagaimana yang tertuang dalam platform partai ini dibidang kesejahteraan. Karena itu, mestinya nasib para PKL menjadi perhatian serius PDIP dan Partai Gerindra.    
Fenomena ini menunjukan aktualisasi rill dari jati diri PDIP, dan Partai Gerindra sebagai partai politik, yang konsisten dalam memperjuangkan rakyat yang terpinggirkan justru nihil. Begitu juga implementasi ideologi marhaenisme, dan sosialisme dari PDIP maupun Partai Gerindra tidak teraktualisasi secara rill di tengah-tengah kehidupan rakyat kecil di Kota Ambon. Padahal dalam visi PDIP maupun visi Partai Gerindra bertumpu pada upaya membangun masyarakat adil dan makmur, serta menciptakan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Namun, ketidakmampuan kedua partai politik ini dalam memperjuangkan kepentingan PKL di arena legislatif disebabkan :
Pertama, para PKL di Kota Ambon bukan merupakan basis garapan suara dari PDIP dari pemilu ke pemilu. Pasalnya basis garapan suara PDIP di Kota Ambon adalah para pemilih Protestan dan Katolik. Hanya sedikit yang berasal dari penduduk kota terpinggirkan, kaum buruh, petani, dan para pelaku ekonomi di sektor informal. Begitu juga para PKL bukan merupakan basis garapan suara dari Partai Gerindra dalam Pemilu 2009. Raihan suara Partai Gerindra, pada Pemilu 2009 di Kota Ambon lebih banyak berasal dari basis pemilih emosional yang memiliki ikatan keluarga, etnis dan agama antara caleg dari Partai Gerindra dengan para pemilih.    
Kedua, para PKL di Kota Ambon, yang telah terregistrasi sebagai warga Kota Ambon secara legal, sudah menjadi basis garapan suara dari partai politik Islam, dan partai politik non sektarian berbasis Muslim, seperti ; PPP, PBR, PKS, PBB, PMB, PKNUI, PKB dan PAN dari Pemilu ke Pemilu. Pasalnya rata-rata para PKL tersebut adalah kaum urban Muslim. Dimana preferensi politik mereka dalam Pemilu 2009 lebih didasarkan pada kesamaan latarbelakang keluarga, etnis dan agama antara mereka dengan caleg yang diusung oleh kedelapan partai politik itu.
Ketiga, terdapat juga para PKL, yang memiliki kategori sebagai kaum urban yang berdatangan sementara waktu dari desa-desa di Leihitu, Salahutu, Pulau Haruku dan desa-desa di Pulau Seram. Maupun yang berdatangan dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat ke Kota Ambon, namun para kaum urban itu tidak memiliki registrasi administratif sebagai warga Kota Ambon yang legal. Sehingga baik PDIP, dan Partai Gerindra tidak tertarik untuk menjadikan mereka sebagai basis garapan suara dalam Pemilu.
Dari ketiga aspek sosiologis-demografis tersebut menjadi kenyataan rill bahwa, meskipun dilevel nasional baik PDIP dan Partai Gerindra memiliki komitmen kuat untuk memperjuangkan nasib para PKL sebagai salah satu kelompok masyarakyat terpinggirkan, yang lebih baik lagi. Tapi tidak sejalan di tingkat lokal di Kota Ambon. Hal ini dikarenakan preferensi politik warga Kota Ambon terhadap kedua partai politik ini di dalam Pemilu, memiliki karakteristik yang khas jika dibandingakan dengan daerah lainnya di tanah air.
Sehingga isu-isu kelas sosial yang termarginalkan, mencakup penduduk kota terpinggirkan, buruh, petani, nelayan, kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti PNS honorer, guru bantu, para buruh pabrik yang penghasilannya masih di bawah upah minimum, dan para pelaku ekonomi di sektor informal, yang dikemas sebagai isu kampanye dari PDIP, dan Partai Gerindra tidak akan menjadi preferensi politik bagi para pemilih di Kota Ambon, dalam memilih kedua partai politik ini di arena elektoral. Namun, jika kita bandingkan keberadaan para PKL di Kota Ambon dan keberadaan para PKL di Kota Jakarta, tentu berbeda.   
Di Kota Ambon para PKL bukan merupakan basis garapan suara dari PDIP dan Partai Gerindra. Di Kota Ambon kedua partai politik ini turut bergerak ke arah tengah. Sehingga isu-isu kelas sosial yang termarginalkan menyangkut problem penataan para PKL di Kota Ambon, tidak akan diperjuangkan oleh kedua partai ini di arena legislatif. Sementara di Kota Jakarta para PKL merupakan basis garapan suara dari PDIP dan Partai Gerindra. Di Kota Jakarta kedua partai politik ini turut bergerak ke arah kiri. Sehingga isu-isu kelas sosial yang termarginalkan menyangkut problem penataan para PKL di Kota Jakarta, akan diperjuangkan oleh kedua partai ini di arena legislatif.

Rekonsolidasi PDIP Maluku

Oleh; M.J Latuconsina

”Partai sebagai suatu asosiasi yang
memberikan kompromi bagi pendapat-
pendapat yang bersaing.” -Roy C. Macridis-

Perhelatan Konferda ke-III DPD PDIP Maluku yang digelar 17 Maret 2010 lalu, akhirnya sukses menghantarkan duet Karel Albert Ralahalu-Bitzael Silvester Temmar sebagai Ketua, dan Sekretaris DPD PDIP Maluku periode 2010-2015. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran peserta Konferda, yang memberikan kepercayaan kepada kedua figur ini untuk memimpin DPD PDIP Maluku, sekaligus merupakan kesuksesan dari partai politik yang berciri kebangsaan ini, dalam mengelolah konflik politik di level internal partai.
Pilihan Ralahalu dengan menggandeng Temmar, merupakan bagian dari upaya politik Ralahalu untuk mengakomodasi lawan seterunya melalui Konferda ke-III DPD PDIP Maluku menjadi kawan strategisnya, dalam struktur kepengurusan DPD PDIP Maluku. Opsi politik ini merupakan sebuah pilihan politik langkah, yang dipraktekan para elite partai. Kebanyakan yang terjadi adalah para elite partai, yang berkompetisi dalam agenda demokrasi internal partai, justru lebih banyak mendepak lawan-lawan politiknya dari struktur kepengurusan partai. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi dari ‘politik balas dendam.’
Namun pilihan politik Ralahalu itu, juga lebih didasari oleh pengalaman politik sebelumnya tatkala Ralahalu-Watimury memimpin DPD PDIP Maluku periode 2008-2010, pasca wafatnya Ketua DPD PDIP Maluku Jhon J Mailoa, melalui Konferda Luar Biasa DPD PDIP Maluku di tahun 2008 lalu. Dimana ketika itu terdapat sejumlah kader partai senior, yang terpinggirkan dari struktur strategis kepengurusan DPD PDIP Maluku. Para kader partai senior yang terpinggirkan ini, akhirnya terfragmentasi menjadi faksi-faksi.
Munculnya faksi-faksi tersebut sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap kepengurusan Ralahalu-Watimury. Ekses dari konflik politik itu, sangat berpengaruh pada tidak solidnya kepengurusan DPD PDIP Maluku. Tidak kompaknya kepengurusan DPD PDIP Maluku, akhirnya berdampak terhadap tidak maksimalnya kinerja partai, dalam menghadapi agenda-agenda politik lokal dan nasional. Akibatnya, perolehan kursi partai ini di DPRD provinsi, dan kabupaten/kota mengalami penurunan pada Pemilu 2009 lalu. Begitu juga perolehan suara partai ini, untuk kursi DPR dan calon presiden mengalami penurunan pada Pemilu 2009 lalu.
Pilihan akomodatif Ralahalu itu, juga merupakan bagian dari upaya merekonsolidasi partai, yang didasarkan pada dinamika internal partai. Output dari upaya ini, diharapkan akan mampu mempush partai ini sukses dalam menyongsong agenda-agenda politik lokal, dan nasional seperti; pilkada di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan pemilu. Karena itu, partisipasi partai ini dalam agenda-agenda politik di level lokal dan nasional, bertujuan untuk bisa meraih kekuasaan. Pasalnya esensi vital dari kehadiran partai dalam suatu sistem politik, adalah sebagai alat untuk meraih kekuasaan dan untuk memerintah.
Merekonsolidasi partai melalui pengelolaan konflik, merupakan gambaran rill dari usaha partai ini guna meretas jalan kearah implementasi fungsi partai secara konsekuen di level internal partai. Pasalnya partai ini tengah berusaha merealisikan fungsi pengelolaan konflik, dan pendidikan politik ditubuh partai. Jika kedua implementasi fungsi partai ini berjalan dengan baik, tentu akan memiliki bias yang positif kepada rakyat. Dimana partai ini akan memiliki kemampuan, untuk melakukan pengelolaan konflik yang dialami rakyat, dan akan memiliki kemampuan dalam memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat.
Kini DPD PDIP Maluku tengah bergerak diaras kebersamaan, sebagai buah dari rekonsolidasi yang dilakukan melalui momentum Konferda ke-III DPD PDIP Maluku pada 17 Maret 2010 lalu. Disini nampak kompromi politik yang tengah dibangun para elite partai ini. Sehingga posisi Watimury yang sebelumnya adalah sekretaris DPD PDIP Maluku, dengan rela berbagi kepada Temmar untuk menempati posisi sekretaris DPD PDIP Maluku. Fenomena ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan Roy C. Macridis (1998), dalam tulisannya yang berjudul; ‘Sejarah, Fungsi, dan Tipologi Partai-Partai,’ bahwa kehadiran partai sebagai suatu asosiasi yang memberikan kompromi bagi pendapat-pendapat yang bersaing.
Kompromi tersebut tentu merupakan mekanisme demokratis, yang ditempuh para elite partai ini, dalam rangka mengharmonisasi internal partai, dengan senantiasa melihat dinamika internal partai. Karena itu, rekonsolidasi merupakan jalan politik untuk membawa partai ini kearah yang lebih baik lagi. Tentu tidak ada satu partai politik pun yang mengukir prestasi politik, tanpa melakukan rekonsolidasi yang intens. Untuk itu, ‘tidak ada kata tidak’ bagi DPD PDIP Maluku melakukan rekonsolidasi partai, yang bertujuan menata institusi partai ini ke arah yang lebih baik lagi.
Terkait dengan itu, Arif Susanto (2005) dalam artikelnya yang berjudul; ‘Integrasi dan Disintegrasi Dalam Partai,’ mengatakan bahwa pada partai-partai yang tidak mengalami perpecahan terdapat dua kecenderungan yang berbeda. Pertama, masih ada tokoh utama yang mampu menjaga kebersamaan di antara beberapa faksi dalam partai, sehingga mereka terhindar dari perpecahan. Kedua, partai tidak terlalu bergantung pada segelintir tokoh, melainkan memiliki kepemimpinan yang bersifat kolektif, atau jika tidak demikian sang pemimpin berada pada posisi primus inter pares, dengan kewenangan yang dapat dikontrol oleh elite partai yang lain.
Menginterpretasi argumen tersebut, dengan melihat kondisi rill DPD PDIP Maluku saat ini, tentu Ralahalu tengah memposisikan dirinya sebagai tokoh utama, yang mampu menjaga kebersamaan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai, yang selama ini selalu berseteru, sebagai akibat dari perbedaan kepentingan politik diantara mereka. Melalui upaya ini, akan dapat mengsinergikan semua faksi-faksi dalam tubuh partai menjadi power politik, untuk meningkatkan kinerja partai sekaligus memajukan partai ini.  
Diluar itu, Ralahalu rupanya tengah belajar dari sukses Mailoa, yang membawa partai ini keluar dari masa-masa sulit kekangan politik di era rezim otoritarian Soeharto (1967-1988). Dimana kala itu partai ini bernama PDI, dan  membebaskan partai ini menuju puncak kejayaan di era rezim liberal B.J Habibie (1988-1999). Dimana ketika itu partai ini berganti nama menjadi PDIP. Keberhasilan Mailoa tersebut, tidak terlepas dari upaya dia memposisikan dirinya sebagai tokoh utama, yang mampu menjaga keharmonisan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai, yang selalu berkonflik sebagai akibat dari perbedaan kepentingan politik diantara mereka.
Karena itu, tatakala Mailoa wafat yang diikuti dengan naiknya Ralahalu memimpin partai ini, DPD PDIP Maluku nyaris kehilangan figur sentral partai, yang memiliki kemampuan setara dengan Mailoa dalam menjaga kebersamaan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai ini. Hadirnya figur utama di tubuh DPD PDIP Maluku, yang memiliki kemampuan dalam menjaga keharmonisan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai memang sangat dibutuhkan, dimana saat ini Ralahalu tengah tampil sebagai tokoh utamanya.
Namun kedepan agar partai ini bisa terhindar dari konflik dilevel internal partai, maka ketergantungan pengurus partai ini terhadap tokoh utama, yang mampu menjaga kebersamaan, di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai perlu diminimalisir. Partai ini perlu memprioritaskan kepemimpinan partai yang bersifat kolektif. Sehingga tatkala terjadi transformasi kepemimpinan partai melalui momentum Konferda/Konferda Luar Biasa, roda organisasi akan senantiasa berjalan simultan, tanpa mengalami konflik internal partai, akibat adanya krisis legitimasi terhadap pimpinan partai yang baru.

Konferda PDIP Maluku (Realiansi PDIP-Militer Untungkan Posisi Ralahalu)

Oleh; M.J Latuconsina

Dipastikan pada April 2010 mendatang Konferda DPD PDIP Maluku dihelat, terdapat tiga figur yang akhir-akhir ini meramaikan bursa kandidat ketua dari partai politik yang berasaskan Pancasila ini, yakni ; Karel Albert Ralahalu, Bitzael Silvester Temmar, dan Evert Kermite. Ketiga figur tersebut tidak asing lagi dimata publik di Maluku, pasalnya tengah menempati jabatan Gubernur Maluku, Bupati Maluku Tengara Barat, dan anggota fraksi PDIP di DPRD Maluku.  
Menjelang pelaksanaan Konferda DPD PDIP Maluku tersebut, masing-masing faksi tengah melakukan manuver-manuver politik, dengan mengkonstruksi image politik yang positif melalui media massa terhadap figur yang mereka usung. Sebaliknya masing-masing faksi juga sedang melakukan manuver-manuver politik, dengan mengkonstruksi image politik yang negatif melalui media massa terhadap figur yang tidak mereka ungulkan. 
Dari image politik negatif yang dibangun tersebut lebih banyak mengarah ke Ralahalu, ketimbang ke Temmar dan Karmite. Karena itu, menurut Firmanzah (2008) suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi, yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Image politik tersebut, memang sengaja dikonstruksi kubu pro Temmar dan Karmite, dengan target menurunkan popularitas Ralahalu diberbagai level kepengurusan partai. Sehingga  dapat mempengaruhi pengurus partai diberbagai lini kepengurusan partai, untuk tidak berpihak kepada Ralahalu.
Lantas siapa figur yang memiliki kans memenangi konferda DPD PDIP Maluku pada April 2010 mendatang? Tentu Ralahalu dan Temmar lebih memiliki kans memenangi konferda DPD PDIP Maluku ketimbang Karmite. Pasalnya keduanya adalah figur yang memiliki basis dukungan relatif merata disetiap lini kepengurusan partai. Sedangkan Karmite tidak terlampau memiliki basis dukungan relatif merata disetiap level kepengurusan partai. Diperkirakan Karmite hanya akan mengusung politik keseimbangan, untuk menarik keuntungan dari kedua belah pihak yang akan fight dalam konferda nanti.   
Dimana Karmite hanya akan melakukan deal politik, untuk menempati posisi wakil ketua satu jika Ralahalu memenangkan pertarungan. Pasalnya posisi sekretaris akan tetap ditempati Lucky Wattimury. Sebaliknya jika Temmar memenangkan pertarungan, kemungkinan besar Karmite akan melakukan deal politik, untuk mengisi posisi sekretaris. Target berikutnya Karmite akan melakukan deal politik akhir, untuk memperoleh rekomendasi pencalonan bupati dari PDIP, guna melangkah maju dalam pilkada Seram Bagian Barat 2011 mendatang.  
Posisi ini bisa diraih Karmite jika ia piawai dalam mendesain strategi politik yang handal, guna mencapai cita-cita politiknya. Sebagaimana dikemukakan Schroder (2006) bahwa, strategi politik merupakan strategi yang digunakan untuk mewujudkan cita-cita politik. Untuk membuktikan kepiawaian Karmite guna merubah lawan menjadi kawan melalui strategi politik yang handal, salah satu opsi adalah melakukan komunikasi politik yang intensif, karena bukan menjadi rahasia publik lagi, saat KLB DPD PDIP Maluku tahun 2008 lalu, Karmite justru berada di kubu Ralahalu yang berhadap-hadapan dengan kubu Temmar.
Lalu bagaimana kans Ralahalu? Mantan tentara berbintang satu ini, adalah sosok yang bertutur kata dengan santun. Ia sendiri bukan salah satu tokoh yang turut melahirkan PDIP di Maluku. Pasalnya, tatkala proses lahirnya PDIP di Maluku melalui pergulatan politik di penghujung rezim Orde Baru, Ralahalu masih aktif sebagai perwira karier di TNI-AD. Namun keberuntungan berpihak padanya, ketika tidak lagi berkarier di TNI-AD, ia diusung partai yang bercirikan kebangsaan ini dalam pilkada, yang dilaksanakan di DPRD Maluku pada tahun 2003, yang akhirnya dimenangkannya.   
Mengakhiri lima tahun pertama jabatan Gubernur Maluku, Ralahalu dipercayakan memimpin DPD PDIP Maluku melalui KLB, pasca wafatnya ketua DPD PDIP Maluku Jhon J Mailoa di tahun 2008 lalu. Sayangnya, naiknya Ralahalu memimpin DPD PDIP Maluku harus dibayar mahal, dengan terpentalnya kader-kader senior PDIP, yang turut melahirkan partai bercirikan kerakyatan ini di Maluku, seperti ; M.J Papilaja dan Temmar dari kepengurusan partai. Tak pelak kondisi ini semakin menambah “barisan sakit hati”, yang siap-siap menghadangnya dalam Konferda DPD PDIP Maluku nanti.
Pada debut keduanya dalam pilkada Maluku di tahun 2008 ia diusung PDIP, ia kemudian sukses meraih kemenangan dan menjabat lima tahun kedua Gubernur Maluku, ironisnya keberhasilan itu tidak terulang dalam Pemilu 2009. Suara PDIP justru menurun di era kepemimpinannya, dibandingkan Pemilu 1999 dan 2004 di masa kepemimpinan Mailoa. Fenomena ini menandainya “bobolnya kandang banteng” di Maluku. Ditengah kegagalannya itu, ia tetap confidence merebut kembali ketua DPD PDIP Maluku. Jalan terjal masih menghadangnya untuk meraih kemenangan dalam Konferda DPD PDIP Maluku.
Guna memuluskan langkahnya, dibutuhkan kemampuan dari Ralahalu, untuk mengkonsolidasi faksi-faksi di semua level kepengurusan partai, yang berseberangan dengannya, sehingga menjadi power politik guna memenangkan pertarungan dalam Konferda DPD PDIP Maluku April 2010 mendatang. Namun kemenangan itu, bukan saja ditentukan kemahirannya dalam meraih dukungan di semua lini kepengurusan partai, tapi sangat ditentukan juga kepiawaiannya dalam meraih dukungan dari Ketua DPP PDIP Megawati Soekarno Putri.   
Pasalnya, restu ketua DPP PDIP Megawati menjadi senjata pamungkas, yang akan sangat menentukan kemenangan Ralahalu dalam Konferda DPD PDIP Maluku nanti. Hal ini cukup beralasan, karena menurut Erawan (2007) awal berdirinya partai ini dan perkembangan selanjutnya telah menunjukan pergeseran partai dari karakteristik “mass party” ke arah “leader oriented mass party”. Dimana semakin menguatnya personalitas Megawati Soekarno Putri, dan lingkaran elite strategis yang menentukan agenda kebijakan partai.    
Begitu juga posisi Ralahalu selaku kepala daerah, adalah posisi strategis, yang merupakan resource yang sangat dibutuhkan partai.   Terlepas dari itu, jika melihat orientasi politik PDIP dibawah kepemimpinan Megawati, menampakan gejala neo-konservatisme, dimana partai ini sering melakukan re-aliansi dengan militer demi keberlangsungan kekuasaannya.(Dhakidae,2004). Sebagai kandidat yang pernah berkecimpung di militer, tentu Ralahalu diuntungkan dengan faktor ini. Karena itu kans Ralahalu untuk comeback menempati Ketua DPD PDIP Maluku masih tetap kuat.    
Lantas bagaimana kans Temar? Orang nomor satu di MTB ini adalah orang kuat setelah Ralahalu di tubuh PDIP Maluku. Profil sederhana ini mengawali kariernya sebagai dosen Fisip Unpatti, ia kemudian tampil sebagai politikus di PDI Maluku sebelum bertransformasi menjadi PDIP pada 1 Februari 1999. Temar merupakan salah satu dari sekian figur PDI kubu Megawati, yang turut melahirkan PDIP di Maluku.  Sejak kiprah partai bercirikan keadilan sosial ini di Maluku, ia menempati posisi staf ketua. Pasca Konferda DPD PDIP Maluku tahun 2005 di Masohi, Temar menempati posisi sekretaris partai, mendampingi Mailoa selaku ketua DPD PDIP Maluku.
Keberuntungan berpihak padanya, tatkala Pemilu 1999 dan 2004 Temmar sukses meraih suara yang maksimal, sehingga melangkah mulus ke kursi DPRD Maluku. Atas kemahirannya dalam beretorika dan berdiplomasi, Temmar kemudian dipercayakan partainya menjadi ketua Fraksi PDIP di DPRD Maluku. Namun selaku politikus ia tidak selalu beruntung, pada pilkada MTB tahun 2001 yang dilakukan di DPRD MTB, Temmar justru kalah dari S.J Oratmangun politikus gaek yang diusung Partai Golkar. Kekalahan itu, tidak menyurutkan niatnya  meraih kursi Bupati MTB. Pada tahun 2007 Temar kembali fight, dan akhirnya ia memenangkan pilkada langsung tersebut.
Posisi Temmar selaku kepala daerah, juga adalah posisi strategis, yang merupakan resource yang sangat dibutuhkan partai. Meskipun Temmar kini sudah berada diluar struktur DPD PDIP Maluku, tapi ia tetap aktif di partai ini. Pada Pilpres 2009 lalu, Temmar dipercayakan DPP PDIP menjadi ketua tim sukses pasangan capres Megapro di Maluku. Kepercayaan dari DPP PDIP tersebut, menandakan Temmar adalah profil politikus loyal, yang mengabdi kepada partai. Kali ini dalam Konferda DPD PDIP Maluku, Temmar akan maju mencalonkan diri sebagai Ketua DPD PDIP Maluku.
Kans Temmar cukup besar untuk memenangi Konferda DPD PDIP Maluku. Untuk memuluskan langkahnya, diperlukan kemampuan darinya, guna mengkonsolidasi klik-klik yang berseberangan dengannya di semua lini kepengurusan partai, serta dibarengi dengan kemampuannya merebut simpati Megawati selaku Ketua DPP PDIP untuk memberi restu kepadanya memimpin DPD PDIP Maluku. Dua alternatif ini adalah tiket vital baginya untuk memenangi konferda DPD PDIP Maluku. Namun jika AD/ART partai, mensyaratkan kader partai yang mencalonkan diri harus berdomesili di ibukota sebagai pusat administrasi partai, tentu langkah Temmar untuk meraih jabatan Ketua DPD PDIP Maluku melalui Konferda pada April 2010 mendatang bakal sulit terealisasi.