Senin, 26 Juli 2010

Bola Liar Interpelasi

Oleh ; M.J Latuconsina


Pekan lalu perhatian rakyat tertuju di Balai Rakyat Kota Ambon, guna mengikuti perkembangan polemik dari pengajuan hak interpelasi. Dimana terdapat sebanyak 14 anggota DPRD Kota Ambon dari 5 fraksi yang mengajukan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon. Pengajuan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon tersebut, lebih dilatabelakangi oleh berbagai kebijakan yang dilakukan Walikota Ambon, yang diduga menyalahi prosedur menyangkut pinjaman daerah, maupun pengelolaan keuangan daerah tahun anggaran 2009, dan 2010
Dimana pinjaman daerah yang dilakukan pada tahun anggaran 2009 oleh pemerintah Kota Ambon, ternyata melebihi dari apa yang telah disetujui sejak awal oleh DPRD Kota Ambon. Pasalnya pinjaman itu disetujui hanya Rp 30 miliar namun kemudian membengkak menjadi Rp 35 miliar, sehingga terjadi kelebihan Rp 5 miliar. Disamping itu dalam pengelolaan keuangan daerah di tahun 2009 mengalami defisit. Akibat defisit dari anggaran tersebut, menjadi beban bagi APBD Kota Ambon di tahun 2010.
Proses pengajuan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon itu berjalan cukup alot. Sebab Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Kota Ambon yang dikuasai oleh fraksi yang menolak pengajuan hak interpelasi, ternyata ikut pula menolak pembentukan panitia khusus (Pansus), untuk membahas pinjaman maupun defisit keuangan dari pemerintah Kota Ambon. Penolakan oleh Bamus itu tanpa alasan yang jelas. Tentu sikap Bamus DPRD Kota Ambon itu, membuat rakyat yang selama sepekan mengikuti perkembangan polemik pengajuan hak interpelasi terhadap Walikota Ambon di DPRD Kota Ambon itu kecewa.
Tak pelak rakyat-pun menilai bahwa, Bamus DPRD Kota Ambon yang menolak pembentukan Pansus sebagai kelanjutan dari pengajuan hak interpelasi oleh 14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi itu justru lebih berpihak kepada kebijakan-kebijakan Walikota Ambon, yang diduga menyalahi prosedur tersebut. Kasus penolakan ini, tentu merupakan cermin “retak” dari pembelaan berlebihan anggota se partai dengan Walikota Ambon di DPRD Kota Ambon, yang tidak lagi mendengar keluh kesah rakyat atas kebijakan Walikota Ambon yang tidak populer tersebut.
Karena itu, mestinya performance hakiki selaku wakil rakyat yang lebih dikedepankan dalam membela kepentingan rakyat, dan bukan sebaliknya “membela orang partai demi partai” dengan menolak pembentukan Pansus. Jika sikap semacam ini terus dipertahankan, tentu akan menyulitkan transparansi dari akuntabilitas kinerja Walikota Ambon terhadap berbagai kebijakan yang dinilai oleh rakyat menyalahi prosedur. Dampak negatifnya, hanya akan menciptakan pemerintahan yang penuh dengan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Dalam posisi seperti ini, Bamus DPRD Kota Ambon jangan menjadikan interpelasi sebagai momok yang menakutkan bagi mereka dan kepentingan mereka sendiri. Untuk itu, pengajuan hak interpelasi oleh ke-14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi terhadap Walikota Ambon tersebut, perlu lebih dimaknai sebagai bagian strategis, yang tidak bisa dilepas pisakan dari fungsi DPRD sebagai lembaga, yang melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kota Ambon selaku pihak eksekutif.
Karena itu, sejak awal Bamus DPRD Kota Ambon perlu memandang pengajuan hak interpelasi oleh ke-14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi terhadap Walikota Ambon, sebagai sesuatu yang realistis dalam kaitannya dengan implementasi fungsi DPRD sebagai lembaga, yang melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang diambil pihak eksekutif. Sehingga sejak awal Bamus DPRD Kota Ambon perlu menyetujui pembentukan pansus, sebagai kelanjutan dari pengajuan hak interpelasi tersebut. Pasalnya melalui pengajuan hak interpelasi, DPRD Kota Ambon akan meminta keterangan Walikota Ambon mengenai kebijakannya yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat serta daerah.
Sehingga rakyat-pun bisa mengetahui dengan jelas apakah kebijakan yang dilakukan Walikota Ambon tersebut benar atau salah. Tapi jika berbagai kebijakan yang dilakukan Walikota Ambon, yang diduga menyalahi prosedur dalam pinjaman daerah tahun anggaran 2009,  maupun pengelolaan keuangan daerah tahun anggaran 2009, dan 2010 tersebut, tetap dibiarkan tanpa adanya interpelasi. Tentu sikap Bamus DPRD Kota Ambon yang menolak pembentukan pansus tersebut, akan berimplikasi negatif terhadap citra DPRD Kota Ambon di mata rakyat, dimana mereka akan menilai DPRD Kota Ambon secara kolektif membiarkan praktek KKN.
Bahkan rakyat juga akan mencap DPRD Kota Ambon bak “macan ompong”, yang tidak bisa berbuat apa-apa demi menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Terlepas dari itu, Bamus DPRD Kota Ambon tidak perlu khawatir dengan pengajuan interpelasi ke-14 anggota DPRD Kota Ambon dari ke-5 fraksi. Pasalnya interpelasi tidak lain dilakukan dalam rangka mewujudkan prinsip cheks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dimana kalau prinsip dari cheks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kota Ambon terlaksana dengan baik, tentu akan mendorong upaya pencapaian good government, dan clean government dilevel pemerintahan Kota Ambon.
Diluar itu, jika kita menyimak regulasi yang berlaku, interpelasi merupakan hak yang built in dengan fungsi dan kewenangan DPRD, sehingga tidak ada yang luar biasa dan dikhawatirkan. Dalam Pasal 79 Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD maupun dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan hak interpelasi adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas kepada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara.
Memaknai arti substantif dari interpelasi tersebut, tentu tujuan interpelasi dalam rangka untuk mendapat keterangan atau penjelasan tentang kebijakan daerah yang diambil pemerintah kota (Walikota). Sebagai tindak lanjut dari hasil keterangan dan penjelasan tersebut, DPRD dapat menggunakan hak menyatakan pendapat disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya. Tapi harus diakui, pada titik ini selalu saja terdapat kekhawatiran yang berlebihan dari pihak eksekutif bersama partai pendukungnya di legislatif, dimana mereka menganggap interpelasi akan menjadi “bola liar”, yang dapat berujung pada pemakzulan (impeachment) terhadap Walikota Ambon.
Terkait dengan itu, Muhammad Jamin (2005) dalam artikelnya yang berjudul ; “Mencari Makna Interpelasi” menyebutkan bahwa, sesungguhnya, tidak ada yang istimewa pada proses interpelasi. Namun demikian, tak urung banyak pertanyaan muncul berkait dengan hal tersebut. Interpelasi sebagai hak hukum sekaligus hak politik yang dimiliki legislatif, bukan mustahil akan menimbulkan implikasi (politik) yang tidak diduga. Apalagi, realitasnya DPRD merupakan lembaga politik, sehingga ada kekhawatiran bahwa interpelasi akan menjadi entry point untuk proses politik lanjutan yang bisa menjadi “bola liar yang sulit diprediksi arahnya.
Namun kalau kekhawatiran dari pihak eksekutif bahwa, interpelasi itu akan menjadi “bola liar”, yang bermuara pada upaya pemakzulan terhadap Walikota Ambon, tentu hal itu merupakan sesuatu yang terlampau jauh. Pengalaman membuktikan kasus pemakzulan terhadap Walikota Surabaya Sunarto Sumoprawiro, dan Bupati Kampar Jefri Noer, itu terjadi tatkala DPRD masih menjadi lembaga “super bodi” yang bisa memakzulan kepala daerah, yang belandasakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Sebab dalam undang-undang ini, menempatkan posisi DPRD yang sangat kuat, dan setara dengan kekuasaan eksekutif sebagaimana Pasal 16 ayat (2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar