Minggu, 25 Juli 2010

Terjebak Konsolidasi Anarki

Oleh; M.J Latuconsina


Politik bertujuan untuk menghapuskan
kekerasan. -Maurice Duverger-

Pada 8 Juli 2010 lalu terjadi bentrokan antara massa pendukung pasangan Teddy Tengko-Umar Djabamona, dan pasangan Roy Patiasina-Abdul Rahman Jabamona di Kota Dobo. Bentrokan ini dipicu oleh pawai arak-arakan kemenangan dari massa pendukung pasangan Teddy Tengko-Umar Djabamona yang unggul dalam perhitungan sementara di Sekretariat KPUD Kabupaten Aru. Pawai arak-arakan massa pendukung pasangan Teddy Tengko-Umar Djabamona di Kota Dobo itu berpapasan dengan kumpulan massa pendukung pasangan Elwen Roy Patiasina-Abdul Rahman Djabamona. Adu mulut-pun terjadi dan berujung pada aksi saling duel antara kedua massa pendukung pasangan calkada dan cawalkada Aru itu.
Hal serupa terjadi di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), dimana pada 21 Juli 2010 lalu terjadi bentrokan antara masa pendukung pasangan Mukti Keliobas-Jusuf Romatoras, dan massa pendukung pasangan Abdullah Vanath-Siti Umariah Suruwaky di Kota Bula. Bentrokan itu bermula ketika KPUD Kabupaten SBT membuka kotak surat suara untuk melakukan rekapitulasi ulang dari wilayah Kecamatan Gorom. Tak pelak ketidakpuasan-pun muncul dari pendukung pasangan Mukti keliobas-Jusuf Romatoras, yang berujung dengan pembakaran rumah Ketua PKPI SBT, Kabag Umum Pemkab SBT, Gedung DPRD SBT, Kantor Camat Bula, serta pembakaran rumah beberapa warga masyarakat di Kota Bula.(Ameks, 11-21/07/2010).
Diskripsi ini merupakan potret kelam dari pelaksanaan Pemilukada dikedua daerah ini, yang dipenuhi dengan pertentangan dimana menjurus kepada tindakan anarki, sekaligus menambah jumlah kasus pelaksanaan Pemilukada di tanah air yang diwarnai dengan tindakan kekerasaan. Akibat dari penggunaan tindakan anarki pada Pemilukada dikedua daerah itu, membuat mereka terjebak dalam “consolidated anarcy”. Hal ini sebagaimana dikemukakan Cornelis Lay (2004), dalam bukunya yang berjudul, “Antara Anarki dan Demokrasi” bahwa, merebaknya anarki bisa dipastikan bukan merupakan jalur yang kondusif bagi terciptanya demokrasi.
Terlepas dari itu, perhelatan Pemilukada di Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kabupaten SBT telah usai. Usainya pelaksanaan Pemilukada dikedua daerah itu, harus dibayar mahal dengan adanya huru-hara politik, yang menganggu stabilitas keamanan serta ketentraman di Kota Bula, dan Kota Dobo. Pelaksanaan Pemilukada tersebut, berbeda dengan Pemilukada lima tahun lalu di kedua kabupaten ini, dimana relatif kondusif dan tidak menimbulkan huru-hara politik, yang menganggu stabilitas keamanan dan ketantraman.
Terjadinya huru-hara politik dalam Pemilukada di dua daerah baru itu, dikarenakan para elite politik yang tampil sebagai pasangan calkada dan cawalkada, yang kalah dalam Pemilukada dikedua kabupaten ini, tidak puas dengan hasil Pemilukada. Dimana mereka menilai pasangan calkada, dan cawalkada yang memenangi Pemilukada di kedua kabupaten itu melakukan kecurangan. Bentuk ketidak-puasan itu-pun, ditunjukan mereka dengan memobilisasi massa pendukung mereka untuk melakukan tindakan anarki.
Tindakan anarki massa pendukung para pasangan calkada, dan cawalkada yang kalah dalam Pemilukada itu dilakukan melalui pengrusakan terhadap fasilitas publik milik pemerintah daerah, sekretariat partai, maupun rumah-rumah penduduk yang merupakan pendukung pasangan calkada, dan cawalkada yang memenangi Pemilukada. Tentu ini sebuah ironi dalam proses berdemokrasi dilevel lokal di Maluku, dimana harus dibayar mahal dengan tindakan huru-hara politik tersebut.
Fenomena Pemilukada Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kabupaten SBT yang dipenuhi dengan konflik politik tersebut, merupakan potret anomali dari politik. Hal ini sebagaimana dikatakan Maurice Duverger, yang dikutip Sahidin (2004) dalam bukunya yang berjudul ; “Kala Demokrasi Melahirkan Anarki, Potret Tragedi Politik Dongos” bahwa,  politik cenderung mengapuskan kekerasan, akan tetapi dalam realitas praktik politik tidak pernah terlepas dari kekerasan. Padahal secara normatif, politik bertujuan untuk menghapuskan kekerasan, untuk menggantikan  konflik berdarah, dengan bentuk perjuangan sipil yang damai.
Dari sketsa kericuhan dalam Pemilukada dikedua kabupaten baru itu, sulit diduga massa pendukung para elite yang kalah dalam Pemilukada itu bergerak secara spontan atas kehendak mereka sendiri. Sehingga dengan mudah kita menilai bahwa rakyat dikedua daerah itu tidak siap dalam berdemokrasi. Penilaian seperti ini, seakan menihilkan peran para elite, yang kalah dalam Pemilukada dikedua daerah itu. Padahal secara rill menunjukan  bahwa, dimana ada elite maka disitu ada massa yang menjadi pendukung mereka.
Secara teoritik Haryanto (2005) dalam bukunya yang berjudul ;  ”Kekuasaan Elite Suatu Bahasan Pengantar” mengatakan bahwa, eksistensi elite akan ada apabila ada massa yang berperan sebagai pendukungnya. Sebagai pihak yang mendominasi, elite memiliki kewenangan untuk memerintah massa yang didominasinya. Demikian halnya dengan eksistensi elite yang tampil dalam Pemilukada dikedua daerah itu, dimana ada massa yang berperan sebagai pendukung mereka. Sehingga pergerakan massa pendukung para elite yang kalah dalam Pemilukada dikedua daerah itu, tentu atas dasar mobilisasi yang dilakukan para elite mereka.
Karena itu, rakyat dikedua daerah ini memiliki kesiapan dalam proses berdemokrasi. Hanya saja terdapat ketidaksiapan dari para elite yang tampil sebagai kontestan dalam Pemilukada dikedua daerah itu. Hal ini ditunjukan dengan ketidak-relaan para elite dikedua daerah itu untuk kalah dalam perhelatan Pemilukada. Buruknya lagi para elite justru menjadikan massa pendukung mereka sebagai bagian dari “tumbal demokrasi”. Dimana massa pendukung mereka dimobilisasi untuk melakukan tindakan brutal, atas kekalahan yang dialami mereka.
Tindakan-tindakan seperti ini, tentu bukan merupakan wujud pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Mestinya ketidakpuasan itu, dilakukan para elite yang kalah dalam Pemilukada tersebut melalui mekanisme politik, dan mekanisme hukum yang lebih moderat, dengan senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi. Kalau kedua mekanisme itu lebih dikedepankan, maka perilaku-perilaku politik semacam ini, akan memiliki bias yang positif terhadap massa pendukung mereka, untuk melakukan imitasi karakter yang baik seperti apa yang dilakukan oleh para elite mereka.
Jika sejak awal para elite memiliki kesiapan menghadapi proses berdemokrasi dikedua daerah itu, tentu tidak dengan mudahnya memobilisasi rakyat selaku massa pendukung mereka, untuk berbuat tindakan brutal, yang hanya menganggu stabilitas keamanan dan ketentraman. Untuk itu sprit pelaksanaan Pemilukada perlu diletakan pada sendi-sendi demokrasi yang fair play, dimana dilaksanakan dalam suasana yang jujur, adil (jurdil) dan langsung, umum, bebas, serta rahasia (luber). Sehingga bisa meminimalir terjadinya huru-hara politik, yang sering berdampak terhadap terganggunya stabilitas keamanan dan ketentraman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar