Rabu, 07 April 2010

Partai Wong Cilik di Pentas Lokal (di PDIP-Gerindra Nasib PKL Mesti Diperjuangkan)

Oleh; M.J Latuconsina




 Partai-partai seharusnya mewakili sesuatu. -Klinggeman, Hofferbert, Budge-

Pada 3 Februari 2010 lalu terjadi peristiwa dramatis, yang menarik perhatian rakyat di Kota Ambon. Peristiwa itu menyangkut penggusuran lapak para pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang area Terminal Mardika Ambon oleh Polisi Pamong Praja. Tak pelak lapak para PKL yang berjejeran disepanjang area Terminal Mardika Ambon tersebut disapu bersih, yang terlihat tatkala pagi hari adalah kepulan asap sisa-sisa dari lapak para PKL yang telah dibakar. Kejadian dramatis itu menandai pasang-surut hubungan PKL dengan state di ranah lokal, yang sering terjadi dari waktu ke waktu.
Disatu sisi state memerlukan output finansial dari para PKL dalam bentuk retribusi yang diberikan para PKL perharinya kepada state. Hal ini perlu dilakukan, karena retribusi dari para PKL itu diperuntukan bagi budget state, yang bisa digunakan sebagai support suporting bagi kepentingan pembangunan state di aras lokal. Sayangnya retribusi dari para PKL itu diduga masuk ke kantong para ”kapitalis birokrat” (”kabir”). Sehingga yang terjadi adalah para ”kabir” pemburu rente dari para PKL.   
Disisi lain state melalui regulasi perdanya mengatur para PKL, dimana perda itu tidak berpihak kepada kepentingan para PKL. Tentu perda itu dibuat atas dasar kenyamanan, keindahan, kebersihan dan ketertiban Kota Ambon. Disini nampak hegemoni state di ranah lokal terhadap para PKL. Ini artinya, state di level lokal sendiri tidak memiliki kapasitas dalam memanjamen para PKL. Dimana terkesan oportunity dan melalaikan hak-hak para PKL untuk menjajakan dagangannya kepada rakyat.
Padahal para PKL merupakan para pekerja di sektor informal, yang memiliki kontribusi signifikan dalam menggerakan roda perekonomian bagi rakyat kecil di Kota Ambon. Bahkan rakyat kecil di Kota Ambon kebanyakan lebih memilih untuk melakukan transaksi pembelian produk barang dengan para PKL, ketimbang melakukan transaksi pembelian produk barang di supermarket, dengan produk barang yang sama, tapi harga dari produk barang yang dijual di supermarket tersebut lebih tinggi daripada yang di jajakan para PKL.  
Ketidakmampuan state di level lokal diperburuk dengan sikap partai politik, yang sering menjadikan para PKL sebagai basis pemilih dalam pemilu, tapi tidak bisa membela kepentingan para PKL. Sikap itu anomali dengan esensi vital kehadiran partai politik untuk menjebatani kepentingan rakyat dan negara. Bahkan partai politik yang fokus memperjuangkan kesejahteraan rakyat termarginalkan seperti ; PDIP dan Partai Gerindra, tidak maksimal membela kepentingan para PKL di arena legislatif. Hal ini menunjukan dalam fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, kedua partai politik ini gagal merealisasikannya di tingkat legislatif.
Padahal PDIP dikenal sebagai partai wong cilik, dimana basis garapan pemilihnya mencakup ; penduduk kota terpinggirkan, kaum buruh, petani, dan para pelaku ekonomi di sektor informal. Sehingga jargon wong cilik menjadi identik dengan partai politik ini. Begitu pula Partai Gerindra dikenal sebagai partai politik, yang fokus dalam memperjuangkan kelompok masyarakat yang terpinggirkan, sebagaimana yang tertuang dalam platform partai ini dibidang kesejahteraan. Karena itu, mestinya nasib para PKL menjadi perhatian serius PDIP dan Partai Gerindra.    
Fenomena ini menunjukan aktualisasi rill dari jati diri PDIP, dan Partai Gerindra sebagai partai politik, yang konsisten dalam memperjuangkan rakyat yang terpinggirkan justru nihil. Begitu juga implementasi ideologi marhaenisme, dan sosialisme dari PDIP maupun Partai Gerindra tidak teraktualisasi secara rill di tengah-tengah kehidupan rakyat kecil di Kota Ambon. Padahal dalam visi PDIP maupun visi Partai Gerindra bertumpu pada upaya membangun masyarakat adil dan makmur, serta menciptakan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Namun, ketidakmampuan kedua partai politik ini dalam memperjuangkan kepentingan PKL di arena legislatif disebabkan :
Pertama, para PKL di Kota Ambon bukan merupakan basis garapan suara dari PDIP dari pemilu ke pemilu. Pasalnya basis garapan suara PDIP di Kota Ambon adalah para pemilih Protestan dan Katolik. Hanya sedikit yang berasal dari penduduk kota terpinggirkan, kaum buruh, petani, dan para pelaku ekonomi di sektor informal. Begitu juga para PKL bukan merupakan basis garapan suara dari Partai Gerindra dalam Pemilu 2009. Raihan suara Partai Gerindra, pada Pemilu 2009 di Kota Ambon lebih banyak berasal dari basis pemilih emosional yang memiliki ikatan keluarga, etnis dan agama antara caleg dari Partai Gerindra dengan para pemilih.    
Kedua, para PKL di Kota Ambon, yang telah terregistrasi sebagai warga Kota Ambon secara legal, sudah menjadi basis garapan suara dari partai politik Islam, dan partai politik non sektarian berbasis Muslim, seperti ; PPP, PBR, PKS, PBB, PMB, PKNUI, PKB dan PAN dari Pemilu ke Pemilu. Pasalnya rata-rata para PKL tersebut adalah kaum urban Muslim. Dimana preferensi politik mereka dalam Pemilu 2009 lebih didasarkan pada kesamaan latarbelakang keluarga, etnis dan agama antara mereka dengan caleg yang diusung oleh kedelapan partai politik itu.
Ketiga, terdapat juga para PKL, yang memiliki kategori sebagai kaum urban yang berdatangan sementara waktu dari desa-desa di Leihitu, Salahutu, Pulau Haruku dan desa-desa di Pulau Seram. Maupun yang berdatangan dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat ke Kota Ambon, namun para kaum urban itu tidak memiliki registrasi administratif sebagai warga Kota Ambon yang legal. Sehingga baik PDIP, dan Partai Gerindra tidak tertarik untuk menjadikan mereka sebagai basis garapan suara dalam Pemilu.
Dari ketiga aspek sosiologis-demografis tersebut menjadi kenyataan rill bahwa, meskipun dilevel nasional baik PDIP dan Partai Gerindra memiliki komitmen kuat untuk memperjuangkan nasib para PKL sebagai salah satu kelompok masyarakyat terpinggirkan, yang lebih baik lagi. Tapi tidak sejalan di tingkat lokal di Kota Ambon. Hal ini dikarenakan preferensi politik warga Kota Ambon terhadap kedua partai politik ini di dalam Pemilu, memiliki karakteristik yang khas jika dibandingakan dengan daerah lainnya di tanah air.
Sehingga isu-isu kelas sosial yang termarginalkan, mencakup penduduk kota terpinggirkan, buruh, petani, nelayan, kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti PNS honorer, guru bantu, para buruh pabrik yang penghasilannya masih di bawah upah minimum, dan para pelaku ekonomi di sektor informal, yang dikemas sebagai isu kampanye dari PDIP, dan Partai Gerindra tidak akan menjadi preferensi politik bagi para pemilih di Kota Ambon, dalam memilih kedua partai politik ini di arena elektoral. Namun, jika kita bandingkan keberadaan para PKL di Kota Ambon dan keberadaan para PKL di Kota Jakarta, tentu berbeda.   
Di Kota Ambon para PKL bukan merupakan basis garapan suara dari PDIP dan Partai Gerindra. Di Kota Ambon kedua partai politik ini turut bergerak ke arah tengah. Sehingga isu-isu kelas sosial yang termarginalkan menyangkut problem penataan para PKL di Kota Ambon, tidak akan diperjuangkan oleh kedua partai ini di arena legislatif. Sementara di Kota Jakarta para PKL merupakan basis garapan suara dari PDIP dan Partai Gerindra. Di Kota Jakarta kedua partai politik ini turut bergerak ke arah kiri. Sehingga isu-isu kelas sosial yang termarginalkan menyangkut problem penataan para PKL di Kota Jakarta, akan diperjuangkan oleh kedua partai ini di arena legislatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar