Rabu, 07 April 2010

Rekonsolidasi PDIP Maluku

Oleh; M.J Latuconsina

”Partai sebagai suatu asosiasi yang
memberikan kompromi bagi pendapat-
pendapat yang bersaing.” -Roy C. Macridis-

Perhelatan Konferda ke-III DPD PDIP Maluku yang digelar 17 Maret 2010 lalu, akhirnya sukses menghantarkan duet Karel Albert Ralahalu-Bitzael Silvester Temmar sebagai Ketua, dan Sekretaris DPD PDIP Maluku periode 2010-2015. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran peserta Konferda, yang memberikan kepercayaan kepada kedua figur ini untuk memimpin DPD PDIP Maluku, sekaligus merupakan kesuksesan dari partai politik yang berciri kebangsaan ini, dalam mengelolah konflik politik di level internal partai.
Pilihan Ralahalu dengan menggandeng Temmar, merupakan bagian dari upaya politik Ralahalu untuk mengakomodasi lawan seterunya melalui Konferda ke-III DPD PDIP Maluku menjadi kawan strategisnya, dalam struktur kepengurusan DPD PDIP Maluku. Opsi politik ini merupakan sebuah pilihan politik langkah, yang dipraktekan para elite partai. Kebanyakan yang terjadi adalah para elite partai, yang berkompetisi dalam agenda demokrasi internal partai, justru lebih banyak mendepak lawan-lawan politiknya dari struktur kepengurusan partai. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi dari ‘politik balas dendam.’
Namun pilihan politik Ralahalu itu, juga lebih didasari oleh pengalaman politik sebelumnya tatkala Ralahalu-Watimury memimpin DPD PDIP Maluku periode 2008-2010, pasca wafatnya Ketua DPD PDIP Maluku Jhon J Mailoa, melalui Konferda Luar Biasa DPD PDIP Maluku di tahun 2008 lalu. Dimana ketika itu terdapat sejumlah kader partai senior, yang terpinggirkan dari struktur strategis kepengurusan DPD PDIP Maluku. Para kader partai senior yang terpinggirkan ini, akhirnya terfragmentasi menjadi faksi-faksi.
Munculnya faksi-faksi tersebut sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap kepengurusan Ralahalu-Watimury. Ekses dari konflik politik itu, sangat berpengaruh pada tidak solidnya kepengurusan DPD PDIP Maluku. Tidak kompaknya kepengurusan DPD PDIP Maluku, akhirnya berdampak terhadap tidak maksimalnya kinerja partai, dalam menghadapi agenda-agenda politik lokal dan nasional. Akibatnya, perolehan kursi partai ini di DPRD provinsi, dan kabupaten/kota mengalami penurunan pada Pemilu 2009 lalu. Begitu juga perolehan suara partai ini, untuk kursi DPR dan calon presiden mengalami penurunan pada Pemilu 2009 lalu.
Pilihan akomodatif Ralahalu itu, juga merupakan bagian dari upaya merekonsolidasi partai, yang didasarkan pada dinamika internal partai. Output dari upaya ini, diharapkan akan mampu mempush partai ini sukses dalam menyongsong agenda-agenda politik lokal, dan nasional seperti; pilkada di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan pemilu. Karena itu, partisipasi partai ini dalam agenda-agenda politik di level lokal dan nasional, bertujuan untuk bisa meraih kekuasaan. Pasalnya esensi vital dari kehadiran partai dalam suatu sistem politik, adalah sebagai alat untuk meraih kekuasaan dan untuk memerintah.
Merekonsolidasi partai melalui pengelolaan konflik, merupakan gambaran rill dari usaha partai ini guna meretas jalan kearah implementasi fungsi partai secara konsekuen di level internal partai. Pasalnya partai ini tengah berusaha merealisikan fungsi pengelolaan konflik, dan pendidikan politik ditubuh partai. Jika kedua implementasi fungsi partai ini berjalan dengan baik, tentu akan memiliki bias yang positif kepada rakyat. Dimana partai ini akan memiliki kemampuan, untuk melakukan pengelolaan konflik yang dialami rakyat, dan akan memiliki kemampuan dalam memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat.
Kini DPD PDIP Maluku tengah bergerak diaras kebersamaan, sebagai buah dari rekonsolidasi yang dilakukan melalui momentum Konferda ke-III DPD PDIP Maluku pada 17 Maret 2010 lalu. Disini nampak kompromi politik yang tengah dibangun para elite partai ini. Sehingga posisi Watimury yang sebelumnya adalah sekretaris DPD PDIP Maluku, dengan rela berbagi kepada Temmar untuk menempati posisi sekretaris DPD PDIP Maluku. Fenomena ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan Roy C. Macridis (1998), dalam tulisannya yang berjudul; ‘Sejarah, Fungsi, dan Tipologi Partai-Partai,’ bahwa kehadiran partai sebagai suatu asosiasi yang memberikan kompromi bagi pendapat-pendapat yang bersaing.
Kompromi tersebut tentu merupakan mekanisme demokratis, yang ditempuh para elite partai ini, dalam rangka mengharmonisasi internal partai, dengan senantiasa melihat dinamika internal partai. Karena itu, rekonsolidasi merupakan jalan politik untuk membawa partai ini kearah yang lebih baik lagi. Tentu tidak ada satu partai politik pun yang mengukir prestasi politik, tanpa melakukan rekonsolidasi yang intens. Untuk itu, ‘tidak ada kata tidak’ bagi DPD PDIP Maluku melakukan rekonsolidasi partai, yang bertujuan menata institusi partai ini ke arah yang lebih baik lagi.
Terkait dengan itu, Arif Susanto (2005) dalam artikelnya yang berjudul; ‘Integrasi dan Disintegrasi Dalam Partai,’ mengatakan bahwa pada partai-partai yang tidak mengalami perpecahan terdapat dua kecenderungan yang berbeda. Pertama, masih ada tokoh utama yang mampu menjaga kebersamaan di antara beberapa faksi dalam partai, sehingga mereka terhindar dari perpecahan. Kedua, partai tidak terlalu bergantung pada segelintir tokoh, melainkan memiliki kepemimpinan yang bersifat kolektif, atau jika tidak demikian sang pemimpin berada pada posisi primus inter pares, dengan kewenangan yang dapat dikontrol oleh elite partai yang lain.
Menginterpretasi argumen tersebut, dengan melihat kondisi rill DPD PDIP Maluku saat ini, tentu Ralahalu tengah memposisikan dirinya sebagai tokoh utama, yang mampu menjaga kebersamaan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai, yang selama ini selalu berseteru, sebagai akibat dari perbedaan kepentingan politik diantara mereka. Melalui upaya ini, akan dapat mengsinergikan semua faksi-faksi dalam tubuh partai menjadi power politik, untuk meningkatkan kinerja partai sekaligus memajukan partai ini.  
Diluar itu, Ralahalu rupanya tengah belajar dari sukses Mailoa, yang membawa partai ini keluar dari masa-masa sulit kekangan politik di era rezim otoritarian Soeharto (1967-1988). Dimana kala itu partai ini bernama PDI, dan  membebaskan partai ini menuju puncak kejayaan di era rezim liberal B.J Habibie (1988-1999). Dimana ketika itu partai ini berganti nama menjadi PDIP. Keberhasilan Mailoa tersebut, tidak terlepas dari upaya dia memposisikan dirinya sebagai tokoh utama, yang mampu menjaga keharmonisan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai, yang selalu berkonflik sebagai akibat dari perbedaan kepentingan politik diantara mereka.
Karena itu, tatakala Mailoa wafat yang diikuti dengan naiknya Ralahalu memimpin partai ini, DPD PDIP Maluku nyaris kehilangan figur sentral partai, yang memiliki kemampuan setara dengan Mailoa dalam menjaga kebersamaan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai ini. Hadirnya figur utama di tubuh DPD PDIP Maluku, yang memiliki kemampuan dalam menjaga keharmonisan di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai memang sangat dibutuhkan, dimana saat ini Ralahalu tengah tampil sebagai tokoh utamanya.
Namun kedepan agar partai ini bisa terhindar dari konflik dilevel internal partai, maka ketergantungan pengurus partai ini terhadap tokoh utama, yang mampu menjaga kebersamaan, di antara beberapa faksi dalam kepengurusan partai perlu diminimalisir. Partai ini perlu memprioritaskan kepemimpinan partai yang bersifat kolektif. Sehingga tatkala terjadi transformasi kepemimpinan partai melalui momentum Konferda/Konferda Luar Biasa, roda organisasi akan senantiasa berjalan simultan, tanpa mengalami konflik internal partai, akibat adanya krisis legitimasi terhadap pimpinan partai yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar