Minggu, 05 April 2009

Swinging Voters

Oleh; M.J Latuconsina


Menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di Maluku pada tahun 2008 mendatang, para kandidat kepala daerah akan berupaya meraih suara semaksimal mungkin guna mememenangi pilkada langsung. Untuk memenangi pesta demokrasi lokal tersebut, bukan suatu hal yang mudah. Pasalnya luas Maluku yang mencapai 712.479,69 km2, dibutuhkan upaya para kandidat kepala daerah bersama partai politik pengusung guna melakukan konsolidasi ke kantong-kantong suara konstituen, yang tersebar pada berbagai daerah pemilihan (dapil) pada sembilan kabupaten/kota di Maluku. 
Dalam wilayah Maluku yang luas tersebut, didalamnya terdapat kemajemukan suku, agama, bahasa, dan budaya. Sehingga realitas sosiologis rakyat Maluku yang plural tersebut, memberikan corak tersendiri terhadap preperensi (pilihan) politik rakyat selaku konstituen, dalam menentukan figur-figur kandidat kepala daerah yang akan dicoblos pada pilkada langsung. Kondisi sosiologis ini, tentu menutup pintu politik bagi hadirnya pemilih yang monoloyalitas terhadap satu kandidat kepala daerah, bersama partai politik pendukung-nya ditengah-tengah hetrogenitas rakyat Maluku.
Oleh karena itu, untuk memenangkan pilkada langsung di Maluku, faktor figur kandidat kepala daerah masih memiliki peran yang signifikan guna mendongkrak perolehan suara. Sebab fenomena menunjukan terdapat perasaan kekitaan yang melekat dalam diri konstituen terhadap figur kandidat kepala daerah, yang memiliki kesamaan latar belakang suku, agama, bahasa, dan budaya. Faktor ini-lah, yang kemudian akan mampu mempengaruhi preperensi politik konstituen, untuk memilih kendidat kepala daerah berdasarkaan kesamaan suku, agama, bahasa, dan budaya.
Tidak mengherankan kata Andi Haris (2006), bahwa salah satu masalah yang seringkali muncul dalam proses pilkada langsung, adalah menguatnya sentimen primordial yang lebih terikat pada persamaan etnis, aliran, ikatan darah dan berbagai bentuk sifat kedaerahan lainnya. Munculnya masalah ini lebih disebabkan karena karakter masyarakat yang ada di daerah juga berbeda-beda, yang ternyata dapat mempengaruhi preferensi politik masyarakat untuk menentukan kepemimpinan daerah.  
Swinging Voters
Kondisi seperti ini, berimplikasi terhadap peran partai sebagai mesin politik kandidat kepala daerah, dimana seringkali tidak bekerja secara efektif. Sebab fenomena membuktikan dalam sejumlah pilkada langsung di tanah air, para pemilih loyalis (captive voters) yang sebelumnya pada pemilihan umum (Pemilu) 2004 mencoblos partai politik tradisional mereka, justru dalam pilkada langsung menunjukan realitas yang sebaliknya, karena sebagian besar dari mereka memilih pindah partai (swinging voters) dengan mencoblos figur kandidat kepala daerah berdasarkan kesamaan suku, agama, bahasa, dan budaya. 
Pendapat ini bukanlah subyektif semata. Sebab, dalam studi-studi analitik atas masalah kenapa seorang pemilih memilih partai politik/calon tertentu, terdapat tujuh faktor biasanya dicermati, yakni: faktor agama, kelas sosial, kelompok etnik/suku bangsa, hubungan patron-klien/keterikatan dengan tokoh informal lokal, ketertarikan terhadap tokoh/figur nasional, identifikasi diri dengan partai politik tertentu, serta evaluasi subjektif terhadap keadaan ekonomi pemilih dan ekonomi nasional (retrospective voting).(Kompas, 2000).
 Oleh karena itu, diperkirakaan peningkatan swinging voters dalam pilkada langsung di Maluku pada tahun 2008 mendatang, senantiasa akan didasarkan pada empat faktor dari tujuh faktor yang disebutkan diatas, yakni; faktor agama, kelas sosial, kelompok etnik/suku bangsa, hubungan patron-klien/keterikatan dengan tokoh informal lokal. Apalagi para kandidat kepala daerah yang mampu menggunakan keempat faktor tersebut sebagai instrumen memanipulasi memori konstituen dalam kampanye pilkada langsung, bukan tidak mungkin akan terjadi peningkatan swinging voters.
Bahkan captive voters yang akhirnya menjadi swinging voters dalam pilkada langsung di Maluku, adalah para konstituen yang kecewa terhadap partai politik yang telah mereka coblos dalam Pemilu 2004 lalu, dimana partai politik yang mereka pilih tidak dapat merealisasikan janji-janji politiknya selama kampanye kepada konstituen selaku captive voters pasca pemilu. Oleh karena itu, fenomena swinging voters dalam pilkada langsung di Maluku tahun 2008 mendatang, merupakan bentuk protes konstituen sekaligus merupakan bentuk suara penghukuman terhadap partai politik, yang enggan merealisasikan janji-janji politiknya selama kampanye.
Apalagi dengan diperbolehkannya calon independen sebagai kontestan pilkada langsung bersama calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik, akan turut berimplikasi terhadap peningkatan swinging voters yang akhirnya memilih calon independen. Hal ini dapat saja terjadi jika terdapat calon independen yang mengandalkan basis konstituen di tempat kelahirannya. Tentu konstituen di daerah akan lebih memilih putra daerah, fenomena ini akan terjadi, kalau calon independen mampu memanipulasi wacana putra daerah yang lebih pantas dipilih, maka akan meningkatkan perasaan kekitaan konstituen didaerah untuk menjoblosnya. Sehingga para captive voters akan menjadi swinging voters. 
Captive Voters
Bukan merupakan perkara yang gampang-gampang saja, untuk tetap memposisikan konstituen di Maluku dalam captive voters demi kepentingan partai politik, yang tengah berupaya untuk memenangkan kandidat kepala daerah, yang sedang diusung mereka dalam pilkada langsung. Pasalnya fenomena sosiologis konstituen di Maluku, masih menjadi faktor krusial guna tetap mempertahankan captive voters dalam pilkada langsung. Oleh karena itu diperlukan solusi yang tepat agar partai politik dapat mempertahankan captive voters, antara lain;
Pertama, partai politik pengusung perlu mempertimbangkan aspek kemajemukan, yang mencakup; agama, kelas sosial, kelompok etnik/suku bangsa, hubungan patron-klien/keterikatan dengan tokoh informal lokal dalam pola rekruitmen calon kepala daerah (calkada) dan calon wakil kepala daerah (cawalkada) Maluku, diluar persyaratan internal partai politik dan persyaratan formal Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) Nomor 32 Tahun 2004. Paling tidak upaya ini akan mampu menjadikan captive voters tetap mencoblos figur kandidat kepala daerah yang diusung partai politik tradisional-nya dengan senantiasa mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis tersebut.
Kedua, partai politik perlu mendengarkan aspirasi-aspirasi konstituen mereka di daerah selaku captive voters, dalam penentuan calkada/cawalkada Maluku yang akan diakomodir mereka. Sehingga ketika dilaksanakannya pilkada langsung, para konstituen akan tetap mencoblos calkada/cawalkada yang pernah diusulkan mereka kepada partai politik tradisional mereka. Dengan pola seperti ini, partai politik akan tetap mempertahankan para captive voters-nya, dengan senantiasa melihat kondisi sosiologis konstituen-konstituen-nya didaerah. 
Ketiga, program-program kampanye kandidat kepala daerah bersama partai politik pengusung, perlu mempertimbangkan program-program kampanye yang sesuai dengan kondisi sosiologis rakyat di daerah. Hal ini bermanfaat agar program-program kampanye tersebut dapat menyentuh para konstituen di daerah. Sehingga kemudian mereka akan tetap dalam posisi captive voters, ketimbang menjadi swinging voters akibat kekurang-akuratan dalam mendesain program-program kampanye oleh kandidat kepala daerah bersama partai politik pengusung, yang mengabaikan aspek sosiologis konstituen di daerah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar