Minggu, 05 April 2009

Politik Intimidasi

Oleh; M.J Latuconsina

 
Tindakan intimidasi mewarnai proses pendaftaran calon bupati (cabub), dan calon wakil bupati (cawabub), Kabupaten Maluku Tenggara periode 2008-2013. Intimidasi itu menimpa duet L.E Nuhuyanan-Safarudin Fakaubun, pada detik-detik terakhir menjelang penutupan pendaftaran cabub, dan cawabub di KPUD Maluku Tenggara. Intimidasi yang dilakukan orang-orang yang tidak dikenal via hand phone tersebut, ternyata tidak hanya menimpa duet pasangan Nuhuyanan-Fakaubun, tapi elit partai politik pengusung paket pasangan ini juga tidak luput dari intimidasi. 
Tak pelak impian duet Nuhuyanan-Fakaubun untuk bertarung dalam pilkada langsung Maluku Tenggara-pun gagal, dimana paket pasangan ini tidak dapat diakomodir sebagai cabub, dan cawabub oleh KPUD Maluku Tenggara. Hal ini dikarenakan, hanya pasangan cabub Nuhuyanan yang memberanikan diri, untuk mendaftar di KPUD Maluku Tenggara ditengah-tengah intimidasi yang tidak membolehkan duet pasangan ini, untuk mendaftar sebagai cabub dan cawabub di KPUD Maluku Tenggara.  
Pada saat yang bersamaan pasangan cawabub Fakaubun, tidak menghadiri proses pendaftaran di KPUD Maluku Tenggara, karena menjelang proses pendaftaran cabub dan cawabub, ia tidak bersama Nuhuyanan datang ke KPUD Maluku Tenggara. Ketidakhadiran Fakaubun, membuat KPUD memberikan waktu dua hari kepada Nuhuyanan, untuk hadir bersama Fakaubun ke KPUD sekaligus melengkapi berkas pencalonan mereka. Sayangnya upaya paket pasangan ini untuk melengkapi berkas pencalonan mereka, sebagaimana yang dimintakan KPUD Maluku Tenggara tak kesampaian, karena pada saat yang bersamaan seluruh anggota KPUD Maluku Tenggara tengah bertolak ke Jakarta.(Ameks, 27/5/2008). 
Politik Intimidasi 
 Drama intimidasi yang mewarnai proses pendaftaran cabub dan cawabub Maluku Tenggara tersebut, menambah jumlah kasus serupa yang pernah terjadi menimpa kandidat kepala daerah, dan wakil kepala daerah dalam pilkada langsung pada sejumlah provinsi dan kabupaten/kota di tanah air. Maraknya tindakan intimidasi yang dilakukan oleh orang-orang tak dikenal, terhadap pasangan cabub dan cawabub tersebut, sebenarnya syarat dengan kepentingan politik menghadapi pilkada langsung.
Intimidasi tersebut tentu bukan datang begitu saja, tanpa adanya aktor politik yang mendesainnya. Karena itu, dalam frame politik kita-pun akan memprediksi bahwa, intimidasi tersebut masih terkait dengan eskalasi suhu politik menjelang pilkada langsung. Dimana diduga melibatkan cabub dan cawabub lain, yang merasa tersaingi secara politik, jika cabub dan cawabub yang memiliki kans besar, untuk memenangi pilkada langsung turut-serta sebagai kontestan dalam pilkada langsung.
 Sehingga salah satu jalan yang ditempuh, untuk menghentikan langkah cabub dan cawabub yang memiliki kans besar, untuk memenangi pilkada langsung, adalah menerapkan politik intimidasi, dengan motif untuk menakut-nakuti cabub dan cawabub yang memiliki kans besar untuk memenangi pilkada langsung. Jika kemudian upaya ini berhasil, tentu akan lebih melapangkan jalan bagi suksesnya cabub, dan cawabub yang memiliki ambisi politik yang berlebihan, untuk memenangkan pertarungan dalam pilkada langsung, tanpa memiliki lawan politik yang tangguh.
 Tapi kalau sebaliknya upaya ini gagal, tentu akan semakin membuat pilkada langsung dipenuhi dengan tensi politik yang tinggi, ditandai dengan ketatnya kompetisi politik yang menguras energi cabub, dan cawabub yang memiliki ambisi politik yang berlebihan, untuk memenangkan pertarungan pilkada langsung. Sehingga untuk memenangkan pilkada langsung, cabub dan cawabub yang memiliki ambisi politik yang berlebihan tersebut, tidak dengan mudah akan memenangkan pilkada langsung dengan hasil yang telak. Pasalnya, kemenangan itu akan diraih dengan selisih suara yang tipis dengan pesaing politik mereka.  
Namun tidak sedikit diantara cabub, dan cawabub memiliki ambisi politik yang berlebihan tersebut, terpaksa mengakhiri impian politik mereka untuk menduduki jabatan bupati dan wakil bupati, dengan kekalahan yang dialami mereka dalam pilkada langsung, oleh cabub dan cawabub yang merupakan pesaing politik mereka. Hal ini dikarenakan, rakyat selaku konstituen pilkada langsung tidak memiliki simpati dengan cabub, dan cawabub yang mengedepankan politik intimidasi, dalam pilkada langsung. Rakyat sebaliknya justru lebih memiliki simpati dengan cabub, dan cawabub yang tertindas secara politik oleh cabub, dan cawabub yang memiliki ambisi politik yang berlebihan tersebut.  
Pelembagaan Konflik
 Dalam transformasi kepemimpinan lokal melalui pilkada langsung, banyak cabub dan cawabub yang bersaing ketat, untuk merebut jabatan bupati dan wakil bupati. Sebagian diantara mereka kerap mempraktekan politik intimidasi, guna menjungkalkan lawan politik mereka. Sayangnya, praktek politik intimidasi justru banyak yang berujung dengan konflik terbuka, antara cabub dan cawabub beserta massa pendukung mereka. Namun memang sulit menghindari terjadinya konflik dalam pilkada langsung. Pasalnya jabatan bupati dan wakil bupati adalah jabatan publik yang langkah, dimana tidak bisa ditempati semua orang.
 Karena itu, dalam perspektif governance dan manajemen konflik politik, para elit politik yang sering berkonflik, biasanya disebabkan oleh perebutan jabatan-jabatan publik. Hal ini dikarenakan jabatan-jabatan publik seperti bupati, dan wakil bupati adalah jabatan-jabatan publik yang langkah, sehingga membuat para elit politik berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Jika saja jabatan bupati dan wakil bupati jumlahnya banyak layaknya jumlah pemilih dalam pilkada langsung, tentu para elit politik tidak perlu bersusah payah, untuk berlomba-lomba memperebutkannya dengan berkonflik. 
Politik intimidasi, seperti yang terjadi dalam pilkada langsung di Maluku Tenggara, sebenarnya menunjukan ketidak-berhasilan elemen-elemen demokrasi yang memiliki kepentingan dengan proses demokrasi di daerah itu, untuk menjadikan pilkada langsung sebagai upaya menciptakan pelembagaan konflik politik ditingkat lokal. Sebab pilkada langsung sebagai sebuah mekanisme transformasi kepemimpinan lokal yang modernis, ternyata tidak mampu dimaknai sebagai suatu cara untuk memperoleh jabatan publik, dengan mengedepankan tindakan-tindakan politik yang lebih elegan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
 Padahal, jika saja pilkada langsung di Maluku Tenggara sejak awal dapat berjalan bebas dan adil (free and fair), dengan mengedepankan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur, dan adil (jurdil). Tentu politik intimidasi tidak perlu dipraktekan oleh cabub dan cawabub yang memiliki ambisi politik terlampau berlebihan untuk meraih jabatan bupati, dan wakil bupati melalui pilkada langsung. Karena itu, pilkada langsung sebagai mekanisme transformasi kepemimpinan lokal yang modernis, sudah saatnya dilaksanakan dengan menghindari penggunaan kekuatan fisik layaknya transformasi kepemimpinan dengan cara-cara klasik, yang lebih mengandalkan penggunaan kekuatan fisik seperti coup d’etat. 
 Yang perlu dikedepankan dalam pilkada langsung, sebagai suatu mekanisme transformasi kepemimpinan lokal yang modernis adalah, uji strategi politik yang handal oleh cabub dan cawabub beserta tim sukses mereka, dengan lebih mengandalkan kekuatan non fisik untuk memenangkan pilkada langsung. Kalau mekanisme semacam ini mampu direalisasikan oleh cabub dan cawabub dalam pilkada langsung, tentu merupakan bentuk pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Melalui mekanisme seperti ini, maka proses tranformasi kepemimpinan lokal dilevel bawah-pun, dipastikan akan mengadopsi cara-cara populis yang pernah diterapkan oleh para cabub dan cawabub tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar