Minggu, 05 April 2009

Pelajaran Dari Ternate (Partai dan Elit Dalam Proses Kandidasi)

Oleh; M.J Latuconsina


 Masih belum sirna dari memori kita, tatkala pada 22 Agustus 2007 di Ternate, ibukota Provinsi Maluku Utara rusuh. Kerusuhan ini dipicu oleh ketidakpuasan masa pendukung calon gubernur (cagub), dan calon wakil gubernur (cawagub) Mudhafar Syah/Rusdi Hanafi, yang tidak lolos verifikasi di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Maluku Utara. Hal ini dikarenakan koalisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan sejumlah partai politik kecil pengusung duet pasangan ini tidak mencukupi kuota suara 15 persen. 
 Ribuan pendukung duet pasangan yang tidak puas itu, melakukan kericuhan dengan dengan memblokade jalan serta merusak fasilitas kota, sehingga aktivitas warga pun lumpuh total. Sedangkan perkantoran serta sekolah diliburkan. Sedikitnya 9 orang pendukung duet pasangan ini terluka terkena tembakan peluru tajam, dalam bentrokan yang terjadi antara mereka dengan aparat kepolisian daerah (Polda) Maluku Utara.
Bahkan, bandar udara Sultan Babullah tidak bisa beroperasi, karena massa pendukung Mudhafar Syah/Rusdi Hanafi menduduki bandar udara itu. Massa yang beringas tersebut berada ruang tunggu dan landasan pacu. Begitu pun jalan menuju bandara Sultan Babullah Ternate diblokir menggunakan batu dan kayu. Sehingga tidak satu pun kendaraan yang bisa lewat dari dan ke bandara tersebut. (Antara, Republika, 2007). 
Peran Partai dan Elit 
 Dari sketsa kericuhan itu, sulit diduga massa pendukung calon Mudhafar Syah/Rusdi Hanafi bergerak secara spontan. Jika mereka bertindak secara spontan, tentu mereka adalah bagian dari kelompok kepentingan (interest group) yang sifatnya anomik. Oleh Almond (2006) kelompok ini dikatakan terbentuk secara spontan dan hanya seketika. Dimana tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, sehingga tumpang tindih (overlap), dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non konvensional, seperti demonstrasi, kerusuhan, tindakan kekerasan politik dan sebagainya. 
Namun sebenarnya kalau diamati tindakan massa pendukung itu, merupakan bagian dari kelompok kepentingan yang terorganisir, pasalnya tindakan massa pendukung cagub dan cawagub itu, diperkirakan sudah didesain sejak awal oleh kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan tersebut adalah; pertama partai politik pengusung calon, dan kedua elit politik yang gagal di akomodir dalam proses kandidasi di KPUD Maluku Utara. 
Pertama, partai politik. Dalam konflik politik yang kerap berkonflik dalam merebut jabatan-jabatan publik di daerah adalah kelompok-kelompok kepentingan, yang tidak lain adalah partai politik. Sehingga tidak mungkin hanya karena tidak lolos verifikasi di lembaga penyelenggara pemilu lokal, lantas massa pendukung calon bergerak secara spontan, tentu mereka ini digerakan oleh partai politik selaku bagian dari kelompok kepentingan.
Apalagi partai politik adalah, mesin politik yang memiliki kemampuan memobilisasi massa pendukung paling efektif, tentu tidak bisa dinafikan mereka sejak awal telah memainkan peran-peran politik untuk mengelolah konflik politik dengan cara-cara kekerasan. Padahal mestinya partai politik dapat memainkan perannya untuk meredakan amarah massa pendukung calon, yang beringas dengan merusak fasilitas publik tersebut.
Kedua, elit. Dalam konflik politik yang kerap berkonflik dalam merebut jabatan-jabatan publik di daerah adalah elit-elit lokal. Hal ini dapat saja terjadi, karena menurut Haryanto (2005) eksistensi elit akan ada apabila ada massa yang berperan sebagai pendukungnya. Sebagai pihak yang mendominasi, elit memiliki kewenangan untuk memerintah massa yang didominasinya.
Melihat argumentasi tersebut, dipastikan sejak awal elit lokal, yang gagal diakomodir sebagai cagub dan cawagub dalam pilkada langsung di Provinsi Maluku Utara, telah memainkan peran-peran politik untuk memanajamen konflik politik dengan cara-cara kekerasan. Sehingga elit lokal sebagai pihak yang mendominasi, telah menyalahgunakan kewenangan mereka untuk memerintah massa yang didominasinya guna melakukan tindak kekerasan.
Pelajaran Dari Ternate
 Drama politik yang menegangkan dari Kota Ternate tersebut, memperlihatkan partai politik dan elit politik di provinsi baru itu tidak mampu memanjemen konflik politik dilevel lokal secara baik. Padahal jika saja, mereka yang berkompoten dengan proses pembangunan demokrasi di daerah itu, mampu memanajamen konflik politik tersebut secara baik, tentu kebringasan massa pendukung calon tidak akan terjadi.
Terkait dengan itu, Zartman (1997) menyebutkan bahwa Konflik bisa diatur dengan berbagai cara, dan di kategorikan dalam beberapa dimensi berbeda,.. Oleh karena itu, sangat diperlukan kearifan dari partai politik, dan elit di level lokal untuk mampu mengelolah konflik, dengan menggunakan instrumen-instrumen kelembagaan formal maupun non formal di daerah, sehingga mampu menciptakan stabilitas politik.
 Ricuh dari proses kandidasi di Ternate Maluku Utara sudah berakhir setahun lalu. Namun perlu menjadi pelajaran bagi proses kandidasi yang tengah berlangsung dalam pilkada di Provinsi Maluku. Untuk menghindari konflik politik, partai politik perlu memaksimalkan fungsinya sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) secara baik, sehingga proses kandidasi yang dilakukan partai politik dapat berjalan sesuai dengan aturan main. Jika hal ini mampu dilakukan oleh partai politik yang hendak mencalokan figurnya di lembaga penyelenggara pilkada, tentu akan mampu mendorong kondusifnya stabilitas politik di daerah.
 Begitu-pun para elit, yang tengah mengikuti proses kandidasi dengan dukungan partai politik di lembaga penyelenggara pilkada, perlu memberikan pendidikan politik yang baik kepada massa pendukung mereka. Pasalnya hubungan elit dan massa pendukung mereka sifanya supra ordinasi, dan sub ordinasi. Sehingga elit yang berlaku sebagai supra ordinasi harus mampu mengendalikan perilaku-perilaku individu yang tergabung dalam sub ordinasi tersebut.(Haryanto, 2005).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar