Minggu, 05 April 2009

PATRONAGE (Fenomena Post Colonial State)

Oleh; M.J Latuconsina


  Tidak berbeda jauh dengan era kolonial, yang menjadi masa bagi tumbuh suburnya budaya politik patronage dalam arena politik lokal. Dimana budaya politik ini sengaja ditumbuh-suburkan oleh pemerintahan kolonial, dengan tujuan untuk menghegemoni rakyat yang terjajah. Begitu pun, para elit politik di daerah ini, kerap mempraktekan budaya politik patronage. Praktek budaya politik patronage, sebenarnya merupakan ciri khas dari post-colonial state. Dimana para elit politik relatif mempertahankan peran-peran tradisional mereka layaknya di masa kolonial.
 Hal ini nampak dalam proses pemilukada yang tengah berlangsung di daerah ini, dimana para calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub), yang tengah bertarung turut mempraktekan budaya politik patronage. Bahkan tidak tanggung-tanggung cara ini digunakan para pasangan cagub dan cawagub, sebagai bagian dari strategi politik untuk mendulang suara dari para pemilih, dengan target untuk memenangkan pemilukada Maluku.
 Dalam study-study politik Indonesia, budaya politik patronage kerap populer dengan istilah patron dan klein. Dimana dalam pola hubungan patron dan klein terjadi antar dua individu. Dalam pola hubungan ini, akan terjadi hubungan timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya.(Gaffar, 2006). Karena itu, bagi para pasangan cagub dan cawagub, yang telah lama mempraktekan budaya politik ini ditengah-tengah rakyat Maluku, tentu tidak akan sulit untuk mendapat dukungan dari para pemilih dalam pemilukada.
 Pasalnya, para pasangan cagub dan cawagub yang berlaku sebagai patron tersebut, senantiasa akan dicoblos pemilih yang berlaku sebagai klien mereka dalam pemilukada Maluku. Fakta politik ini akan terjadi, karena rata-rata para elit politik sebelum mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub, telah lama menjalin hubungan dengan rakyat dalam bentuk patron dan klien. Dalam pola hubungan ini, menempatkan elit politik kedudukannya lebih tinggi dari pemilih, dimana elit politik memberikan keuntungan kepada pemilih. 
Keuntungan itu salah satunya dalam bentuk bantuan ekonomi kepada para pemilih. Sementara para pemilih akan memberikan loyalitas kepada elit politik. Sehingga menghadapi pemilukada Maluku, tentu para pemilih akan menunjukan loyalitas mereka dengan mencoblos elit politik yang tampil sebagai cagub dan cawagub. Hal ini di karenakan, pola hubungan antara cagub dan cawagub selaku patron maupun klien selaku pemilih dalam arena politik, menunjukan pola hubungan timbal balik antara kedua belah pihak. 
 Terkait dengan itu, Scott(2007) mengatakan hubungan patron dan klien adalah, satu kasus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan intrumental, dimana seorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi, kepada patron. 
Namun sebenarnya dalam pola hubungan ini, yang kerap diuntungkan adalah patron, karena patron memiliki sumber daya besar dan lebih kuat ketimbang klien. Pola hubungan seperti ini juga, bukan hanya terjadi para pemilih kelas bawah, akan tetapi para pemilih kelas menengah baru dan lama, yang memiliki profesi sebagai pengusaha-pun, kerap tampil sebagai klien dari elit politik yang tengah menduduki jabatan di pemerintahan.
Tidak mengherankan, para elit politik tersebut sering memberikan proyek kepada para pengusaha tersebut. Sehingga mereka-pun, akan hadir sebagai klien yang tersubordinasi menurut kepentingan elit politik itu, dengan menjadi tim sukses bahkan penyandang dana bagi para elit politik, yang tampil sebagai cagub dan cawagub dalam pemilukada Maluku. Hal ini merupakan bentuk loyalitas yang diberikan pengusaha kepada para elit politik, yang maju sebagai cagub dan cawagub dalam pemilukada Maluku. 
 Menurut Ahimsa (2007), hubungan timbal balik yang berjalan terus dengan lancar akan menimbulkan rasa simpati (affection), antara kedua belah pihak yang selanjutnya akan membangkitkan rasa saling percaya dan rasa dekat. Dengan adanya rasa saling percaya ini seorang klien dapat mengharapkan bahwa si patron akan membantunya jika dia mengalami kesulitan, jika dia memerlukan modal dan sebagainya. Sebaliknya si patron juga dapat mengharapkan dukungan dari klien apabila pada suatu saat dia memerlukannya. 
Tapi sebenarnya mekanisme relasi patron dan klien dalam arena pemilukada cukup sederhana, dimana patron yang tampil sebagai cagub dan cawagub tersebut, membutuhkan suara dari klien. Menghadapi situasi seperti ini, maka jauh hari sebelum dilaksanakannya pemilukada, patron akan senantiasa memberikan perhatian kepada klien mereka, dengan memberikan bantuan kepada klien mereka, yang merupakan salah satu sumber loyalitas, untuk kemudian memilih para cagub dan cawagub yang merupakan klien mereka dalam pemilukada. 
 Pola hubungan patron dan klien tersebut, dapat berakhir jika para pasangan cagub dan cawagub, yang merupakan patron mengalami kekalahan dalam pemilukada Maluku. Sehingga mereka akan kehilangan sumber daya berupa sumber finansial yang memadai, dimana tidak lagi dimiliki ketika mereka masih memegang jabatan gubernur dan wakil gubernur Maluku. Tentu kekalahan tersebut akan diikuti pula dengan hengkanya para klient mereka, untuk kemudian mencari lagi patron baru, yang memiliki sumber daya yang memadai.
Karena itu, jika kita menggunakan terminologi Wildavski (2002) untuk melihat perilaku memilih pemilih, yang terpola dalam hubungan patron dan klien dalam pemilukada Maluku, maka perefereni pemilih kita masih dipengaruhi oleh faktor rational choice culturalism. Dimana pilihan rasional yang dipengaruhi oleh kalkulasi kultural. Secara empirik faktor ini utamanya bekerja di masyarakat yang tingkat patronasenya masih tinggi.(Imawan, 2006).
Begitu-pun, kalau kita menggunakan pendekatan rational choice, untuk melihat klien yang memilih patronnya dalam pemilukada, maka preferensi itu merupakan suatu pertimbangan, yang didasarkan pada kalkulasi untung rugi dalam menentukan pilihan klien. Pasalnya, dalam pendekatan ini menyebutkan bahwa, sebuah pilihan tindakan dikatakan menguntungkan bila ongkos yang dikeluarkan, untuk mendapatkan hasil dari tindakan tersebut lebih rendah, daripada hasil tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan disebut rugi bila ongkos untuk mendapatkan hasil itu lebih tinggi nilainya ketimbang hasil yang diperoleh. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar