Minggu, 05 April 2009

Floating Voters Mass (Elit, Partai, dan Kompromi Politik)

Oleh; M.J Latuconsina


Menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, yang baru dilaksanakan di provinsi Maluku, para elit politik di daerah ini sangat antusias menyambutnya. Hal ini ditandai dengan partisipasi aktif mereka dalam proses rekruitmen calon kepala daerah (calkada), dan wakil kepala daerah (cawalkada) yang tengah dilakukan oleh partai politik. 
Dalam proses rekruitmen calkada dan cawalkada itu, banyak cara yang tempuh para calkada dan cawalkada, antara lain; road show keliling daerah dengan menggelar kegiatan-kegiatan sosial, pemasangan iklan politik di media massa, berwacana di media massa, pemasangan poster, baliho, spanduk dan stiker di tempat-tempat umum, sampai dengan melakukan loby politik pada pengurus partai di daerah dan pusat.
Banyak diantara calkada dan cawalkada, yang relah merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk melakukan upaya-upaya tersebut, yang bertujuan guna mendongrak popularitas mereka dimata pemilih. Hal ini dilakukan, dengan kalkulasi politik agar partai politik yang tengah menjaring mereka, akan mempertimbangkan tingkat popularitas mereka dimata pemilih, untuk kemudian rekrut sebagai calkada dan cawalkada.
Sayangnya, upaya-upaya itu jutru tidak membuahkan hasil yang maksimal, karena fakta menunjukan terdapat calkada dan cawalkada yang populer di mata pemilih, dengan melakukan berbagai strategi politik tersebut, justru gagal diakomodir oleh partai politik. Yang diakomodir oleh partai politik sebagai calkada, dan cawalkada adalah figur yang tidak terlampau maksimal dalam menerapkan strategi politik tersebut. 
Hal ini menunjukan terdapat pertimbangan-pertimbangan politik lain dari partai politik yang merekrut calkada, dan cawalkada. Sehingga popularitas calkada, dan cawalkada yang melakukan beragam strategi politik untuk mendongkrak citra mereka dimata pemilih tidak menjadi indikator untuk dicalonkan. Tapi pengalaman figur calkada, dan cawalkada dalam birokrasi pemerintahan, justru menjadi pertimbangan partai politik dalam merekrut calon pimpinan politik di daerah ini. 
Floating Voters Mass
Calkada dan cawalkada yang gagal di akomodir oleh partai politik tersebut, tidak bisa diremehkan pengaruh mereka dalam pilkada langsung, karena mereka memiliki basis massa pemilih yang masih loyal kepada mereka. Sehingga tatkala figur calkada dan cawalkada itu gagal diakomodir oleh partai politik, akan diikuti pula oleh kekecewaan yang dirasakan para massa pemilih mereka. Lambat laun mereka akan menjadi massa pemilih yang mengambang (floating voters mass).
Apalagi identifikasi pilihan politik pendukung figur calkada dan cawalkada, yang gagal diakomodir itu didasarkan pada pilihan sosiologis, tentu partai politik yang mengiliminasi figur calkada dan cawalkada yang mereka dukung, akan sulit meraih suara mereka dalam pilkada langsung nanti. Hal ini dapat terjadi, jika saja para massa pendukung tersebut sangat menokohkan figur calkada dan cawalkada yang gagal diakomodir tersebut. 
Dalam istilah Nursal (2004), fenomena ini dikatakan sebagai segmentasi pemilih emosional, dimana merupakan kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan tertentu seperti kesedihan, kekhawatiran, dan kegembiraan terhadap harapan tertentu dalam menentukan pilihan politiknya. Dimana faktor emosional ini sangat ditentukan oleh personalitas kandidat.
Bahkan sikap radikal yang akan dilakukan para pendukung figur calkada, dan cawalkada yang gagal diakomodir partai politik, adalah melampiaskan kekecewaan politik mereka, melalui upaya pengembosan suara calkada dan cawalkada dari partai politik yang gagal mengakomodir figur calkada dan cawalkada mereka. Sikap ini sangat tidak diinginkan oleh partai politik, karena akan mengurangi raihan suara calkada dan cawalkada yang mereka calonkan dalam pilkada langsung.
Pengembosan suara sangat mungkin terjadi, jika para elit politik selaku calkada, dan cawalkada yang gagal diakomodir dalam pilkada langsung tersebut, memerintahkan massa pendukungya untuk melakukan pengembosan. Karena itu, menurut Haryanto (2005) sebagai pihak yang mendominasi, elit memiliki kewenangan untuk memerintah massa yang didominasinya. Hubungan elit dan massa pendukung mereka sifanya supra ordinasi, dan sub ordinasi.
Kompromi Politik
Untuk menghindari pengebosan dalam pilkada langsung, tentu perlu dilakukan kompromi politik oleh partai politik, dengan figur calkada yang gagal diakomodir tersebut. Sehingga massa pemilih yang masih setia mendukungnya, tidak akan memilih menjadi massa pemilih yang mengambang, tapi justru tetap memilih partai yang gagal mengakomodir figur yang mereka calonkan tersebut.
Oleh karena itu, sebelum keputusan dari pengurus partai politik guna mengakomodir cawalkada dan cawalkada yang akan resmi bertarung dalam pilkada langsung, maka kompromi politik antara para calkada dan cawalkada yang mengikuti proses kandidasi beserta partai politik perlu dilakukan. Sehingga para calkada dan cawalkada yang dieleminasi dalam proses kandidasi tersebut, tidak akan mengajak massa pendukungnya melakukan pengembosan. 
Model kompromi politik seperti apa yang perlu dilakukan figur calkada dan cawalkada dengan partai politik yang mengiliminasi mereka dalam proses kandidasi? Kompromi politik itu bisa saja menyangkut sharing jabatan di pemerintahan, alokasi proyek pembangunan di wilayah basis pemilih calkada, dan cawalkada yang teriliminasi. Bahkan pada opsi yang terakhir, penggantian ongkos politik calkada dan cawalkada yang dikeluarkan untuk proses kandidasi.
Kompromi politik tersebut jika dilakukan dengan menguntungkan kedua belah pihak, tentu akan sampai pada keputusan politik, yang mengarah kepada konsensus politik. Melalui mekanisme seperti ini, diharapkan akan mampu menghindari terjadinya pengembosan suara dalam pilkada langsung, sekaligus menunjukan efektinya mesin partai politik yang mampu bekerja mengkonsolidasikan massa pemilih, untuk memenangkan calkada dan cawalkada yang mereka usung dalam pilkada langsung.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar