Minggu, 05 April 2009

Suara Terbanyak

Oleh; M.J Latuconsina


 Beberapa waktu lalu, terdapat sejumlah partai politik membuat kesepakatan internal, dalam proses rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Dimana dalam penentuan terpilih caleg yang diajukan sejumlah partai politik itu, akan lebih ditentukan oleh kemampuan caleg, dalam mengumpulkan suara terbanyak dari para pemilih. Sehingga caleg yang memenuhi BPP atau-pun tidak, dan berapa-pun nomor urutnya, sejauh mampu mengumpulkan suara terbanyak, akan proritaskan oleh partai politik untuk menempati kursi legislatif. 
 Sisi positif dari penerapan mekanisme ini, akan dapat menghilangkan praktek oligarki partai, yang kerap tumbuh subur dalam partai politik selama ini. Pasalnya seorang caleg memiliki peluang untuk terpilih, dan duduk sebagai anggota legislatif melalui pemilu, lebih ditentukan oleh kedekatannya dengan pengurus partai politik. Sehingga, yang terjadi adalah praktek koncoisme, dalam penentuan nomor urut caleg. Bukan sebaliknya penentuan nomor urut caleg, karena partai mempertimbangkan kapasitas, akseptabilitas, akuntabilitas dan marketable yang dimiliki pengurus partai, untuk direkrut menjadi caleg.  
Karena itu, Suryadi (2007) mengatakan bahwa, oligarki partai kerap dituding sebagai penyebab perceraian politisi, dengan partai yang telah membesarkannya. Oligarki telah menyebabkan sumber daya partai, hanya beredar dari oligoi yang satu ke oligoi yang lainnya. Antrean menuju jenjang karier pun, menjadi panjang dan rapat. Koncoisme menggantikan pola rekrutmen berdasarkan prestasi. Demokrasi internal partai lalu mati suri, dan hanya menyediakan pilihan abaikan atau tinggalkan. [3]
Lain halnya, dengan penentuan terpilihnya seorang caleg dengan suara terbanyak. Dimana seorang caleg partai, biar-pun tidak menempati nomor urut jadi. Tapi karena caleg tersebut memiliki kapasitas, akseptabilitas, akuntabilitas dan marketable. Tentu caleg tersebut, akan lebih menggantungkan nasibnya untuk dipilih, menjadi anggota legislatif melalui dukungan dari para pemilih. Ketimbang menggantungkan nasibnya, pada nomor urut jadi, yang telah ditentukan oleh partai politik.
 Meskipun sejumlah partai politik telah menerapkan sistem ini, dalam rekrutmen caleg, ternyata sistem ini masih bertolak-belakang, dengan sistem Pemilu 2009. Pasalnya dalam pemilu 2009 masih menggunakan sistem pemilu proporsional setengah terbuka (proporsional open half list system), seperti yang diterapkan pada Pemilu 2004 lalu. Dimana para pemilih bukan hanya dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan sendiri caleg yang disukainya. Karena itu, pemilih di samping memilih tanda gambar partai juga memilih gambar caleg.  
Dalam sistem ini, partai masih menentukan secara sepihak caleg-caleg dan daftar urutan caleg. Sehingga caleg selain bergantung pada pemilih juga bergantung pada partai. Dengan demikian, dalam penetapan caleg terpilih melalui hasil Pemilu 2009, oleh KPU/KPUD masih menggunakan mekanisme BPP dan nomor urut caleg. Tak pelak, antusiasme partai politik yang sejak awal telah membuat kesepakatan internal, dalam penetapan caleg terpilih melalui suara terbanyak, dan bukan lagi berdasarkan mekanisme BPP serta nomor urut caleg, akan gugur dengan sendirinya. 
Pasalnya kesepakatan internal itu, tidak akan dapat digunakan, sepanjang regulasi menyangkut pencalegan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD belum direvisi oleh DPR. Sehingga, yang terjadi adalah BPP dan nomor urut caleg, lagi-lagi masih menentukan dalam proses penetapan caleg terpilih menjadi anggota legislatif oleh KPU/KPUD, pasca pencoblosan Pemilu 2009 mendatang.  
Berbeda dengan sistem pemilu proporsional setengah terbuka. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka (proporsional open list system), para pemilih bukan hanya dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan sendiri caleg yang disukainya. Dengan demikian, pemilih di samping memilih tanda gambar partai juga memilih gambar caleg. Dalam sistem ini, partai politik tidak dapat menentukan secara sepihak caleg-caleg dan daftar urutan caleg, karena hal itu sangat bergantung pada pemilih. 
Sistem pemilu proporsional terbuka, sebenarnya sangat pas dengan pola rekrutmen sejumlah partai politik, yang telah membuat kesepakatan menyangkut terpilihnya caleg, berdasarkan suara terbanyak dan bukan lagi berdasarkan BPP dan nomor urut caleg. Agar penggunaan sistem ini pada Pemilu 2009 nanti, tidak menemui kendala hukum, maka secara dini partai-partai politik itu, perlu mendorong pembuatan payung hukumnya oleh DPR dan pemerintah. Sehingga dapat mengantisipasi penggunaan sistem ini, oleh sejumlah partai politik yang telah lebih dulu menggunakannya, dalam proses rekrutmen caleg.
Jika penggunaan sistem ini pada pemilu 2009, tetap dipaksakan oleh partai politik, dengan menerapkannya dalam proses rekrutmen caleg, tanpa memiliki payung hukum yang jelas, tentu akan berdampak pada kerugian yang dialami caleg. Lambat-laun kerugian yang dialami caleg tersebut, akan menjadi bom waktu bagi partai politik sendiri, karena para caleg yang dirugikan dengan sistem ini, dipastikan akan memperkarakan partai politik di pengadilan.
Sebab, proses penentuan seorang caleg terpilih, telah menyalahi mekanisme Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Bahkan dalam proses penetapan caleg terpilih menjadi anggota legislatif, oleh KPU/KPUD-pun dipastikan tidak akan mengacu pada kesepakatan yang telah dibuat oleh sejumlah partai politik itu. Namun KPU/KPUD tetap akan mengacu pada mekanisme Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dalam proses penetapan caleg menjadi anggota legislatif.
Namun sebenarya penerapan mekanisme ini oleh sejumlah partai politik, hanya untuk mengantisipasi terjadinya konflik internal partai, yang kerap terjadi dalam tiap kali pemilu. Sebab rata-rata para pengurus partai, saling berebut untuk menempati nomor urut jadi, dalam proses rekrutmen caleg. Akibat dari perebutan nomor urut jadi itu, berakhir dengan konflik internal partai menjelang dilaksanakannya pemilu. Hal ini terjadi karena, terdapat caleg yang memiliki keinginan kuat, menempati kursi legislatif, justru menempati nomor urut tidak jadi.
Implikasi dari konflik perebutan nomor urut jadi tersebut, kerap menganggu konsolidasi internal partai menjelang dan saat dilaksanakannya pemilu, karena rata-rata caleg yang tidak menempati nomor urut jadi, enggan bekerja maksimal untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Pasalnya dalam persepsi mereka, jika mereka bekerja maksimal dalam mengumpulkan suara, hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia belaka, karena suara yang diperoleh mereka dalam pemilu tersebut, justru bukan untuk mereka, tapi akan diberikan kepada caleg nomor urut jadi. Hal ini terjadi, kalau mereka tidak mencapai BPP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar