Minggu, 05 April 2009

Sketsa Perilaku Pemilih Maluku

Oleh; M.J Latuconsina


 Pembicaraan menyangkut perilaku pemilih (voting behaviour), dari waktu ke waktu tidak pernah sepi dari ulasan para ilmuan politik di Indonesia. Apalagi menghadapi agenda-agenda politik lokal seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, pembicaraan menyangkut perilaku pemilih tetap relevan dengan konteks kontemporer politik lokal di tanah air. Hal demikian juga relevan dalam pelaksanaan pilkada langsung di Maluku, yang akan berlangsung pada tahun 2008 mendatang. 
Melalui perilaku pemilih, kita bisa melakukan mapping politik, untuk mengetahui sukses-tidaknya para candidat kepala daerah dalam upaya meraup suara pemilih, pada suatu daerah pemilihan. Sehingga tanpa menunggu lagi hasil akhir pengumutan suara para calkada yang bertarung, kita sudah bisa memprediksikan persentase raihan suara yang akan diperoleh oleh para candidat kepala daerah. 
Sketsa perilaku pemilih Maluku (voting behaviour Molucas), tidak terlepas dari realitas kondisi Maluku yang majemuk. Menurut J.W.Ajawaila (2004) bahwa,..terdapat lebih dari 100 suku bangsa dan sub suku bangsa di Maluku. Sebagian besar kelompok-kelompok suku bangsa dan sub suku bangsa ini mendiami pulau-pulau besar, dan kecil yang tersebar dari utara sampai ke selatan. Masing-masing kelompok suku bangsa memiliki sistem nilai budaya sendiri yang memberikan identitas bagi kelompok suku bangsa tersebut. 
Dalam kemajemukan tersebut, terdapat kelas, agama, suku atau etnik. Dimana didalamnya juga terdapat variasi perilaku pemilih di Maluku. Ilmuwan klasik seperti Karl Marx dan Max Weber (2007) percaya, bahwa struktur sosial menentukan munculnya political cleavages (politik perpecahan) tertentu.(Word Press,2007). Tidak mengherankan, diantara cleavage-cleavage memiliki perilaku politik yang berbeda pula dalam menentukan aspirasi politiknya, terkait dengan figur calkada Maluku mendatang.
Sketsa Perilaku Pemilih
Beranjak dari uraian itu, terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk mengetahui perilaku pemilih di Maluku; pertama, pendekatan Sociological School atau sering disebut dengan Mazhab Columbia, yang menerangkan keinginan memberikan suara berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi para pemilih. Pendekatan ini memandang, bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis, seperti agama, kelas atau status sosial, pekerjaan dan lain-lain.
Kedua, pendekatan Michigan School atau sering disebut dengan Mazhab Psikologi. Berbeda dengan pendekatan yang pertama di atas, pendekatan Michigan School lebih mengedepankan aspek sosio-psikologis sebagai ukuran yang menentukan tindakan memilih, yakni berasumsi bahwa, penentuan pilihan politik sangat ditentukan oleh pengaruh kekuatan psikologis. Penentuan untuk memilih atau memihak kepada satu kekuatan politik, dipandang sebagai suatu produk dari sikap dan disposisi psikis dari pemilih (August Cambell, 1960).
Mazhab psikologis ini mempercayai bahwa perilaku memilih dapat dideteksi dengan dua konsep. Pertama, political involvement, yaitu perasaan penting atau tidaknya seseorang untuk terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum (general). Kedua, party identification, yaitu preferensi (suka/tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai atau kelompok politik tertentu. 
Ketiga, pendekatan Mazhab Rational Choice, dipinjam dari pendekatan ekonomi yang bersandar pada asumsi untuk membuat deduksi tentang perilaku instrumental, dan cost-effective-nya dari pemilih dan pelaku kampanye. Asumsi di sini meliputi perhitungan dari kerugian dalam memilih, perhitungan efek dari outcome serta perhitungan pembedaan pilihan. Berbagai perhitungan tersebut menentukan rasionalitas dari para pemilih dalam pemilu.
Di luar tiga pendekatan perilaku pemilih tersebut, terdapat juga pendekatan lain yang pernah ditulis Dennis Kavanagh (1983) dalam buku Political Science and Political Behavior. Menurut dia, ada lima model untuk menganalisis perilaku pemilih, yakni; pendekatan struktural, sosiologis, ekologis, psikologi sosial, dan pilihan rasional. (Word Press,2007). 
Mapping Perilaku Pemilih 
Melihat landasan teoritik tersebut, lantas bagaimana mapping perilaku pemilih dalam pilkada langsung di Maluku pada tahun 2008? Tentu terlalu dini untuk diprediksikan kearah mana mapping perilaku pemilih kita. Namun terdapat dua orientasi perilaku pemilih di Maluku akan mengarah pada; pertama, pendekatan Sociological School (Mazhab Columbia). Hal ini cukup beralasan, karena mayoritas pemilih di Maluku terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis, seperti agama, kelas atau status sosial, pekerjaan dan lain-lain. 
Kedua, pendekatan Michigan School (Mazhab Psikologi), dimana para konstituen di Maluku, yang sering mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari partai politik tertentu, akan secara otomatis memilih partai sekaligus calkada yang diusung oleh partai politik tertentu pula. Fenomena ini dipastikan akan terjadi dalam pilkada langsung di Maluku pada 2008 mendatang, sebab penentuan pilihan politik konstituen sangat ditentukan oleh pengaruh kekuatan psikologis.
Sementara, Mazhab Rational Choice lebih tepat untuk memotret perilaku pemilih di Maluku, yang menyimpang dari kedua mazhab tersebut. Para konstituen-konstituen dalam area rational choice, lazim disebut juga tipe pemilih yang pragmatis. Apalagi menjelang pilkada langsung di Maluku, biasanya para calkada akan menggunakan kekuatan kapital, guna melakukan money politic. Jika kemudian para konstituen yang pilihan politiknya tergantung money politic, maka mereka merupakan pemilih rational choice.
Menurut Nanang Indra Kurniawan (2007), pendekatan Rational Choice menekankan aspek instrumentalisme aktor, ketimbang aspek emosional. Ini terkait dengan kalkulasi voting: pertama, siapa calon yang akan dipilih, concern issue yang diusung calon/partai, kedua Outcome yang akan didapat bila dia memilih, dan Ketiga,pemilih diandaikan rasional dan well-informed. Pendekatan ini sering digunakan untuk menjelaskan why do people not vote?.
Oleh karena itu, diprediksikan jumlah pemilih rational choice, akan meningkat menjelang pelaksanaan pilkada langsung di Maluku. Fenomena ini tidak terlepas dari tingginya angka kemiskinan,dan pengangguran yang semakin melambung pasca konflik horizontal di tahun 1999 lalu. Sehingga rakyat kecil, akan mudah menjadi sasaran money politic, yang dilakukan oleh para candidat kepala daerah, yang tidak populis dan tidak memiliki basis konstituen idiologis. Namun mengandalkan basis kapital untuk mempengaruhi pilihan politik konstituen, yang berasal dari rakyat kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar