Minggu, 05 April 2009

Politik Identitas Dalam Lokalisme Politik di Maluku

Oleh M.J Latuconsina


  Sejak direalisasikan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan derivasi berbagai kebijakan penjelasan teknisnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonesia.
Hal ini menandakan, pilkada langsung di tanah air lebih bermakna sebagai pengembalian hak-hak dasar bagi masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam proses rekruitmen politik lokal secara demokratis. Rakyat sendiri menentukan pimpinannya dan menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan terkait harkat hidup mereka di daerah. Terlepas dari itu, perhatian besar terhadap proses rekrutmen elit politik senantiasa didasarkan pada terakomodasinya beragam kemajemukan dalam sistem politik lokal.
Tidak terkecuali Maluku yang merupakan salah satu daerah di tanah air yang majemuk. Dimana kemajemukan Maluku ditandai dengan keberadaan berbagai suku, bangsa, ras, bahasa dan agama yang mendiami daerah ini. Kemajemukan itu tidak hanya terfokus pada satu wilayah saja, namun kemajemukan itu membentang dari selatan sampai ke tenggara kepulauan Maluku. 
Kemajemukan tersebut tidak terlepas karaktersitik yang dimiliki rakyat di daerah ini, sekaligus menjadi pembeda diantara satu dengan yang lainnya. Dalam aras lokal, lanskap sosial-budaya tersebut senantiasa berimplikasi terhadap praktek politik di ranah lokal, dimana praktek politik yang dimainkan oleh elit politik akan mengarah pada politik identitas yang didasarkan pada kesamaaan suku, bangsa, ras, bahasa dan agama.
Hal ini bukan sesuatu yang mengada-ngada. Fakta menunjukan praktek politik di ranah lokal di Maluku masih didominasi oleh semangat politik identitas yang begitu kuat. Politik identitas akan hadir dan menguat saat diselenggarakan pilkada langsung yang digelar pada sejumlah Kabupaten/Kota di Maluku. Begitu pun menghadapi pilkada langsung di Provinsi Maluku, politik identitas mulai mencuat dan menjadi wacana dominan.
Bahkan rakyat mulai membincangkan koalisi pasangan calon kepala (calkada) daerah, yang didasarkan pada keterwakilan asal etnis atau agama. Misalnya calkada yang berpasangan menurut keterwakilan etnis Ambon-Kei, Seram-Kei, Buru-Seram, Lease-Seram, Islam-Kristen dan sejumlah parameter kemajemukan lainnya, yang sengaja menjadi syarat non formal para calkada untuk melakukan koalisi guna bersaing dalam pilkada langsung di Provinsi Maluku.
Rakyat di daerah ini tidak hanya mempersoalkan pasangan calkada tersebut telah diusung oleh partai apa? Namun yang terpenting adalah pasangan calkada tersebut sudah berpasangan dengan figur calkada dari etnis dan agama mana? Kondisi semacam ini dapat ditemui saat pilkada langsung di Kota Ambon, dimana para calkada yang melakukan koalisi adalah representasi dari keterwakilan etnis dan agama yang mendiami wilayah administratif Kota Ambon.
Tapi apakah politik identitas merupakan sesuatu yang sah-sah saja dalam perspektif demokrasi?. Tentu ia, sebab praktek politik identitas sepanjang masih menyehatkan sistem politik lokal, maka sebaiknya di praktekan secara terus menerus dan tidak mesti ditinggalkan, karena praktek semacam ini bukan merupakan bagian dari politik primordialisme sempit. Namun semata-mata demi mengakomodasi beragam kemajemukan dalam sistem politik lokal. 
Sebenarnya praktek politik identitas bukan merupakan trend yang baru di praktekan di Maluku seiring dengan digelarnya pilkada langsung, sebab pada daerah-daerah lainnya di tanah air sudah sekian lama mempraktekan model politik semacam ini, yang tidak lain dan tidak bukan untuk dapat mengakomodasi berbagai kemajemukan dalam sistem politik lokal mereka. 
Oleh karena itu, koalisi pasangan calkada berdasrkan reprsentasi suku, agama dan etnis sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengelola konflik di ranah lokal. Asumsinya jika dalam politik di aras lokal dapat mengakomodasi berbagai kemajemukan, tentu akan dapat meminimalisir terjadinya konflik akibat ketidakpuasan dari suatu suku, agama dan etnis, yang tidak terakomodir dalam proses pilkada langsung.
Demokrasi Konsosiasional 
  Menguatnya fenomena politik identitas dalam sejumlah pilkada langsung di Maluku, sebenarnya merupakan bagian dari upaya etnis, komunitas agama, dan budaya untuk dapat terakomodasi dalam sistem politik lokal. Senada dengan argumen itu, Seligman (1975) mengatakan bahwa, rekrutmen politik juga berfungsi untuk merekrut anggota-anggota sub kultur tertentu, komunitas agama, status kelas dan komunitas etnis. 
Oleh karena itu, praktek pilkada langsung di Maluku yang diwarnai dengan koalisi pasangan calkada berdasarkan keterwakilan suku, etnis dan agama tetap diterapkan, sepanjang praktek semacam ini mendorong terciptanya demokrasi. Selain itu, melalui pilkada langsung bukan hanya menjadi sarana mengakomondir kemajemukan dalam sistem politik lokal saja, namun merupakan bagian dari upaya mengelola konflik politik di ranah lokal.
Selain itu, jika politik identitas mampu mengakomodasi etnis, suku dan agama, tentu akan mampu menciptakan pembagian kekuasaan diantara keberagaman tersebut. Sehingga semua kelompok etnis, suku dan agama akan dilibatkan dalam pemerintahan, sekaligus kaum minoritas akan dijamin pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan di ranah lokal. Sehingga mereka tidak merasa menjadi warga daerah kelas dua.
Terkait dengan hal itu, menurut Robert Dahl (1992) bahwa, perasaan saling percaya untuk menjamin kondisi lainnya demi terwujudnya demokrasi yang stabil. Dimana sebagai suatu cara penyelesaian dalam kondisi pluralisme sub-kultural yang ekstensif perlu mengembangkan bentuk demokrasi konsosiasional yaitu adanya sebuah koalisi besar para elit atau pimpinan politik dari semua bagian yang penting dari masyarakat majemuk.
Oleh sebab itu, demokrasi konsosasional sudah saatnya dibumikan di Maluku, karena sesuai dengan kemajemukan yang terdapat di daerah ini. Pada negara-negara yang memiliki kemajemukan, model demokrasi konsosasional sudah lama di adopsi. Misalnya Swiss, memiliki perbedaan menyangkut bahasa ibu (Jerman, Perancis, Italia dan Romanch), agama (Protestan dan Katholik), namun di negara ini para elitnya dapat mencapai konsensus. Hal yang sama juga dialami Belgia dan Belanda yang majemuk seperti Swiss, tapi sukses dalam menerapkan demokrasi konsosasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar