Minggu, 05 April 2009

Pemilih Kota

Oleh; M.J Latuconsina

Dalam penyelenggaraan Pemilu, kota biasanya merupakan tempat yang paling semarak, jika dibandingkan dengan desa. Semaraknya penyelenggaraan Pemilu di kota, memiliki korelasi dengan ukuran dan kepadatan penduduk, yang dimiliki kota. Sehingga kota menjadi area urban, yang kerap dilirik para kontestan Pemilu, untuk melakukan aktifitas politik, sebelum melangkah jauh ke desa. Hal ini tidak terlepas dari posisi kota, sebagai pusat dari barometer politik, tempat berhimpunnya institusi-institusi politik, dan sebagai pusat dari lumbung suara potensial, yang banyak didiami pemilih.  
Sehingga merupakan pemandangan yang lazim kita temui, dimana kota merupakan area urban yang paling meriah, dalam penyelenggaraan Pemilu. Kemeriahan penyelenggaraan Pemilu di kota, dapat dilihat dengan membanjirnya beragam atribut kampanye dari caleg dan partai politik, seperti; stiker, poster, baliho, spanduk, bendera, dan umbul-umbul, yang menghiasi area public kota. Hadirnya beragam atribut kampanye tersebut, merupakan bagian dari pengenalan caleg kepada para pemilih kota, dengan target meraih simpati pemilih kota untuk selanjutnya dipilih pada hari pencoblosan.
Rata-rata para pemilih kota yang mendiami kawasan kota, memiliki pengelompokan sosial yang berbeda-beda. Perbedaan pengelompokan sosial para pemilih kota tersebut didasarkan pada ; jenis kelamin, usia, status kewarganegaraan, pendidikan, agama, ras, etnis, dan pekerjaan. Pengelompokan sosial tersebut, mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seorang pemilih. Sehingga memiliki pengaruh terhadap pembentukan perilaku memilih para pemilih kota. Dimana pada akhirnya juga memiliki implikasi, terhadap preferensi politik para pemilih kota, dalam memilih caleg yang dicalonkan partai politik dalam Pemilu.  
Disamping para pemilih kota, memiliki pengelompokan sosial yang berbeda-beda, mayoritas dari mereka juga memiliki karakteristik sosial yang lebih spesifik, yakni; memiliki pola kehidupan yang modernis, memiliki tingkat pendidikan diatas rata-rata, dan memiliki akses informasi yang lebih memadai. Karakteristik sosial pemilih kota yang spesifik tersebut, akan memiliki efek terhadap pilihan politik para pemilih kota, dalam memilih caleg yang dicalonkan partai politik. Dimana mereka akan lebih kritis dalam menentukan pilihan politik mereka. 
Meminjam pendapat Anthony Downs (1957) dalam bukunya ”An Economic Theory of Democracy” menyebutkan bahwa, modernisasi akan meningkatkan daya nalar warga masyarkat. Peningkatan daya nalar ini berpengaruh ke tindakan politik mereka. Warga masyarakat akan selalu berpikir memberikan dukungan terhadap suatu partai, dalam kerangka constantbenefit. Keuntungan yang akan diperolehnya dengan mendukung suatu partai dijadikan pertimbangan utama untuk menentukan sikap.
 Karena itu, para pemilih kota dengan status sosial sebagai buruh, akan memilih caleg dari partai politik yang menjanjikan memperbaiki upah buruh, begitu-pula seorang pemilih kota dengan status sosial sebagai pegawai negeri, akan memilih caleg dari partai politik, yang menjanjikan peningkatkan gaji pegawai negeri. Sedangkan pemilih kota dengan status sosial sebagai ibu rumah tangga, rata-rata akan memilih caleg dari partai politik yang menjanjikan penurunan kebutuhan pokok. Bahkan para pencari kerja, akan memilih partai yang menjanjikan pembukan lapangan kerja. 
Kondisi sosial-ekonomi pemilih kota, yang rata-rata hidup dalam himpitan ekonomi, juga akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap pilihan-pilihan politik mereka, yang cenderung lebih kritis-pragmatis, dengan lebih mempertimbangkan janji-janji partai politik, yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka (constantbenefit). Sehingga dibandingkan denga pemilih desa, yang lebih dipengaruhi oleh aspek sosiologis, dan psikologis dalam memilih caleg, pemilih kota akan lebih dipengaruhi oleh aspek instrumentalisme, dalam memilih caleg yang dicalonkan partai politik dalam Pemilu. 
Karakter pemilih kota yang kritis-pragmatis tersebut, menuntut caleg yang dicalonkan partai politik, untuk mendesain visi-misi, dan program kerja yang berpihak kepada pemilih kota. Visi-misi dan program kerja yang berpihak kepada pemilih kota, juga bukan sebatas janji-janji kepada para pemilih kota saat tibanya kampanye, tapi perlu direalisasikan ketika caleg terpilih menjadi wakil rakyat. Pasalnya, caleg yang dicalonkan partai politik, berhadapan dengan pemilih kota yang kritis-pragmatis. Jika caleg mengabaikan janji-janji yang pernah disampaikan saat kampanye, tentu konsekuensi politiknya akan ditingalkan para pemilih kota, pada Pemilu berikutnya. 
Meski demikian karakter pemilih kota, yang dikemukakan tersebut tidak banyak ditemui pada pemilih kota di Kota Ambon. Hal ini dikarenakan aspek sosiologis seperti; ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga antara pemilih dengan caleg, masih menjadi pijakan bagi para pemilih kota untuk memilih caleg yang dicalonkan partai politik. Disamping aspek psikologis seperti ; ikatan emosional pemilih pada suatu partai, orientasi pemilih terhadap isu-isu dan orientasi pemilih terhadap caleg, masih menjadi indikator bagi para pemilih kota di Kota Ambon untuk memilih caleg yang dicalonkan partai politik. 
 Sehingga yang terjadi adalah seorang pemilih kota di Kota Ambon yang berasal dari etnis Kei akan memilih caleg yang dicalonkan PDIP, bukan didasari oleh pertimbangan kritis-pragmatis, tapi semata-mata pilihan politik pemilih kota tersebut, lebih didasari oleh kesamaan asal pemilih kota yang berasal dari etnis Kei, dengan caleg yang dicalonkan PDIP, yang juga berasal dari etnis Kei. Begitu-pun seorang pensiunan pegawai negeri sipil di Kota Ambon, akan memilih Partai Golkar, karena dulunya pernah menjadi anggota KORPRI yang berafiliasi dalam mendukung Golkar dalam Pemilu-Pemilu di era rezim Orde Baru.  
 Realitas ini diperkuat lagi, dengan tidak terjadinya penguasaan suara pemilih kota oleh partai politik lain diluar PDIP, di Kota Ambon dalam Pemilu 1999 dan 2004. Sehingga fenomena ini mengambarkan pemilih kota di Kota Ambon, bukan-lah pemilih kritis-pragmatis, yang sering-kali berganti-ganti pilihan politiknya, dalam memilih caleg yang dicalonkan partai politik dari Pemilu ke Pemilu, dengan lebih mempertimbangkan constantbenefit. Tapi semata-mata pilihan-pilihan politik, para pemilih kota di Kota Ambon tersebut, lebih didasari oleh pengaruh aspek sosiologis dan psikologis. 
 Secara lebih rill, para pemilih kritis-pragmatis di tanah air banyak ditemui di Kota Jakarta. Hal ini dikarenakan latar belakang sosial pemilih kota di Kota Jakarta, memiliki pola kehidupan yang modernis, memiliki tingkat pendidikan diatas rata-rata, dan memiliki akses informasi yang memadai. Sehingga faktor ini, memiliki implikasi terhadap pilihan politik politik mereka, dalam memilih caleg yang dicalonkan partai politik. Dimana rata-rata para pemilih kota di Kota Jakarta, dalam penentuan pilihan politiknya akan lebih kritis, dengan mempertimbangkan janji-janji partai politik, yang dapat memberikan constantbenefit bagi mereka.
 Karena itu, Umar Juoro (2009) mengatakan bahwa, pilihan politik masyarakat Jakarta sangat dinamis. Jika melihat sejarah setiap pemilu di wilayah ini, warna partai pemenang pemilu sangat berbeda-beda. Ini menunjukkan bahwa Jakarta merupakan representasi daerah urban yang masyarakatnya memiliki karakter khas. Masyarakatnya bersifat lebih terbuka terhadap informasi dan lebih kritis, yakni dalam arti apakah kepuasan mereka terpenuhi baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Selain itu, masyarakat Jakarta “kurang” loyal pada pegangan pilihan partai tertentu dibanding masyarakat pedesaan sehingga mereka bisa saja berubah dari satu partai ke partai lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar